Apalagi, kini banyak produsen yang mengimpor bahan bakunya. Nilai rupiah yang turun hingga menembus Rp 10 ribu per dolar otomatis membuat harga bahan baku naik. Pengusaha mebel, kata Ambar, mendatangkan kayu ek dan hardwood (sejenis jati) dari Selandia Baru, Australia, dan Burma. Bahan pelengkap seperti engsel dan kunci juga diimpor dari Jerman.
Begitu pula dengan industri alas kaki. "Kami mengimpor 60 persen bahan baku sepatu," kata Komisaris PT Adis Dimension Footwear Djimanto. Lem, kulit, dan aksesoris diimpor Adis dari Korea Selatan, Cina, dan India. "Bahan baku yang kami perlukan itu tidak ada di dalam negeri, atau kalau ada, harganya terlalu mahal," kata Djimanto, memaparkan.
Sementara ini, belum ada masalah bagi Adis yang memproduksi dan mengekspor sepatu bermerek Nike serta Adidas, karena bahan baku dulu diimpor saat rupiah lebih kuat. "Yang repot kalau tiba saatnya kami mengimpor bahan baku lagi, harganya pasti sudah mahal," tutur Djimanto.
Bagaimanapun, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi percaya dunia usaha masih cukup kuat. "Rupiah di level Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu masih reasonable," kata Sofjan. Ia berpendapat, di kurs itu pengusaha masih bisa bernapas. "Lagipula pelemahan rupiah tak begitu parah dibandingkan mata uang negara lainnya."
Menurut Sofjan, pengusaha memang akan pusing karena harus menghitung ulang biaya. "Tapi selama pemerintah bisa menjelaskan dengan baik dan tidak membuat panik, semuanya masih aman," kata dia. Selain itu, Sofjan juga menyarankan pemerintah untuk terus memperkuat pasar dalam negeri.
Bunga Manggiasih