TEMPO Interaktif, Jambi: Nasib Suku Anak Dalam, khususnya kelompok Batin Sembilan, Desa Tanjunglebar, Sungaibahar, Kabupaten, Muarojambi, Jambi, kian memprihatinkan. Kehidupan mereka semakin terjepit tergusur proyek perkebunan kepala sawit.
Kini mereka susah mencari makan di kawasan hutan. "Ubi dan ikan sudah tidak ada. Ke mana kami harus mencari makan ," keluh Datuk Bujang, tokoh warga Suku Anak Dalam kelompok Batin Sembilan kepada Tempo, Ahad (30/11).
Menurut Datuk Bujang , hutan yang menjadi rumah dan sumber penghidupan sudah habis untuk perkebunan. Saat ini kelompok Batin Sembilan tersebar di tiga desa, yakni Markanding, Bungku dan Sungaiberuang. "Mereka sudah berkeja keras mencari rotan yang jauh dari pemukiman," ungkap pria 91 tahun ini sedih.
Ia mengungkapkan, pada 2001 kawasan hutan pemukiman mereka mulai ditebang untuk perkebunan kelapa sawit, PT Asiatik Persada. Areal yang dipakai seluas 20 ribu hektare, sekitar 1.000 hektare di antaranya diperuntukkan bagi 350 keluarga petani mitra, berasal dari tiga desa tadi.
Namun, perjanjian pada 2005 lahan perkebunan itu akan diserahkan kepada Suku Anak Dalam tak pernah terwujud. Belum terealisasinya pemberian kebun sawit kepada warga, menurut Budi Haryoko dari PT Asiatik Persada (Wilmar Gorup Plantation), karena banyaknya warga lain yang mengaku berasal dari Suku Anak Dalam. "Padahal mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Padang, Jawa, dan Sumatera Utara," katanya.
Suku Anak Dalam tampaknya selalu menjadi kambing hitam warga lain, yang dituduh mencaplok lahan perkebunan milik PT Asiatik Persada. Sepuluh hari lalu ribuan orang mendatangi kantor perusahan tersebut menuntut kebun yang dijanjikan kepada mereka.
PT Asiatik Persada, kata Budi, telah mencadangkan lahan dalam kawasan hak guna usaha mereka sebagai lokasi konservasi. Lokasi ini sekarang sudah habis dirambah warga pendatang dijadikan kawasan perkebunan sawit. "Kami mengharapkan bantuan dan tindakan tegas dari pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ini", kata Budi.
SYAIPUL BAKHORI