TEMPO Interaktif, Jakarta: Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak pelabuhan Dumai, Riau menjadi pelabuhan barang impor sesuai kebijakan pembatasan impor pemerintah untuk mencegah dampak krisis ekonomi global. "Kami justru ingin pelabuhan impor dibatasi terhadap potensi penyelundupan," kata Ketua Kadin, M.S. Hidayat, di Menara Kadin, hari ini.
Hidayat menambahkan, meskipun barang itu legal, namun jika masuk melalui pelabuhan yang tidak termasuk ditetapkan pemerintah maka pemerintah harus bertindak tegas. "Stop barang-barang yang masih masuk melalui pelabuhan yang tidak ditetapkan resmi sebagai pelabuhan impor," katanya.
Pemerintah dua kali merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44 Tahun 2008. Semula direvisi menjadi Permendag No 52 Tahun 2008, kemudian direvisi kembali menjadi Permendag No 56 Tahun 2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Peraturan tersebut membatasi masuknya barang impor lima komoditas yang dinilai besar tingkat penyelundupannya, seperti makanan dan minuman, alas kaki, garmen, elektronik, dan mainan anak.
Pembatasan impor untuk garmen mulai berlaku 1 Januari 2009. Sedangkan empat komoditas lainnya berlaku mulai 1 Februari 2009. Pemerintah memundurkan jadwal pembatasan impor yang semula direncanakan mulai 15 Desember 2008 karena memberi kesempatan perusahaan mengurus beberapa dokumen yang dibutuhkan, dan menyiapkan Preshipment Inspection.
Pemerintah menetapkan lima pelabuhan yang khusus masuknya barang impor lima komoditas, yaitu Tanjung Priok, Tanjung Mas, Tanjung Perak, Belawan, dan Soekarno-Hatta. Di samping itu, semua bandar udara internasional juga diperbolehkan melakukan importasi lima produk tersebut.
Awalnya, pemerintah tidak mengizinkan Pelabuhan Dumai milik Pelindo sebagai salah satu pelabuhan untuk masuknya barang impor lima komoditas, dengan alasan tidak memenuhi syarat pelabuhan internasional. Namun,belakangan pemerintah memberi sinyal bahwa pelabuhan tersebut menjadi salah satu pelabuhan masuknya impor lima komoditas.
Menyikapi hal ini, Hidayat mengatakan pengusaha dan pemerintah perlu berbicara menyelesaikan hal ini.
Nieke Indrietta