Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Agar Tulang Tidak Telanjur Bengkok  

image-gnews
FOTO: www.totalsupplement.net
FOTO: www.totalsupplement.net
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Selly Lubis nyaris tak pernah ke luar rumah sembilan tahun terakhir. Dara 26 tahun ini malu lantaran tulang belakangnya melengkung dan menonjol. Semula, ia tak menyadari kelainan ini karena kegiatannya tak terganggu. Dia masih bisa sit-up dan jogging di sekolah.

Justru ayahnya yang menyadari ketidakwajaran punggung putrinya. Maka, pada 1999, Selly—saat masih duduk di kelas III SMP—diboyong ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Anak keempat dari enam bersaudara itu pun dioperasi. Sukses dipasang pen, punggungnya lebih tegak dan tonjolan tulang pun berkurang.

Beberapa tahun berlalu, keluhan baru muncul. Menurut sang ayah, Darwis Lubis, tulang anaknya makin menonjol. Akibatnya, Selly kerap mengalami sesak napas dan sulit menyantap makanan. Empat suap nasi saja sudah membuat perutnya terasa sangat penuh, meski ia sejatinya masih lapar. Walhasil, bobotnya menyusut drastis. Sedikit-sedikit ia lemas, pusing, dan mual. Nyeri dan linu sesekali hinggap di punggungnya.

Keluarganya merasa ada yang tak beres dalam operasi yang pernah Selly jalani. ”Bukannya membaik, malah memburuk,” kata Darwis. Ia pun melapor ke polisi dan Departemen Kesehatan tentang kemungkinan malpraktek. Polisi menyatakan tak ada cukup bukti unsur tindak pidana.

Darwis juga mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Jakarta. Namun, menurut Wakil Ketua Majelis, Sabir Alwy, kewenangan mereka tak sampai pada masalah perdata atau pidana. ”Kami hanya memeriksa dokter, benar atau tidak prosedurnya,” katanya Rabu pekan lalu.

Hingga kini, keluarga Darwis masih menanti kepastian nasib Selly, apakah benar telah terjadi kesalahan penanganan saat operasi. Dan, karena belum ada kejelasan tersebut, dokter di rumah sakit lain juga tidak menerimanya sebagai pasien.

Kasus Selly—terlepas dari problem hukumnya—membuktikan rumitnya penanganan skoliosis. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan skoliosis, sekelompok orang—dokter, pasien atau keluarga pasien, dan grup pendukungnya—mendirikan Masyarakat Skoliosis Indonesia, November lalu.

Skoliosis adalah ketidaknormalan tulang belakang—sesuai dengan asal katanya, dari bahasa Yunani, scolios, berarti bengkok atau terpilin. Tulang belakang yang normal tampak lurus dari ujung leher sampai tulang ekor. Sebaliknya, para penderita skoliosis, jika dilihat dari belakang, memiliki tonjolan di punggung. Jika ditatap dari samping, tulangnya berbentuk huruf S atau C yang memanjang.

Akibatnya, bahu pun tinggi sebelah. Panggul melesak ke dalam. Berjalan pun jadi miring atau tinggi sebelah. Bagi yang sudut kemiringannya mencapai lebih dari 40 derajat, badan jadi bungkuk dan ”berpunuk”. Kadang posisi serta ukuran payudara pun tak sama.

Luthfi Gatam, spesialis ortopedi Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, menyatakan skoliosis sebetulnya bukan penyakit—yang jika diberi obat akan sembuh. Ini sebuah ketidaknormalan yang harus disandang orang seumur hidup. Ia mengistilahkannya ”once scoliosis, forever scoliosis”. Tak bisa disembuhkan ataupun dinormalkan, tapi—dalam banyak kasus—tidak membahayakan. Kalaupun dioperasi, tujuannya bukan ”menyembuhkan”, melainkan ”mencegah lebih parah”.

Ada beberapa tingkat keparahan. Luthfi, yang juga Ketua Umum Masyarakat Skoliosis Indonesia, mengisahkan: ada penderita skoliosis yang tak terganggu aktivitasnya sehari-hari. Mereka yang sudut kemiringan tulangnya kurang dari 10 derajat tergolong ringan. Sedangkan yang mencapai 40 derajat dianggap berat.

Meski begitu, ada pasien ”ringan” yang memilih dioperasi karena alasan kosmetik: postur jadi lurus, penampilan lebih baik. Padahal, sejatinya, tanpa dioperasi pun, fungsi organ-organ tubuh tetap normal. Hanya penampakan fisik yang kerap membikin penderita minder.

Banyak pula yang masuk kamar operasi karena kemiringan tulangnya parah dan mengganggu sistem kerja tubuh. Misalnya napas sesak karena ruang paru menyempit tertekan tulang dan sistem pencernaan terganggu karena ruang di perut terdesak tulang. Jika tak dioperasi, penderita bisa lumpuh, bahkan terancam jiwanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian besar kasus skoliosis tergolong idiopathic, tak diketahui penyebabnya. Faktor yang diduga memperbesar risiko skoliosis antara lain kelainan saraf, keturunan, dan penyakit infeksi. Selain itu, sebagian besar penderita kelainan ini adalah perempuan belasan tahun dari ras Mongoloid. Luthfi mengungkapkan, pada usia di bawah 10 tahun, anak perempuan dan lelaki memiliki kemungkinan sama menderita skoliosis. Namun, di atas usia 10 tahun, probabilitas wanita dan laki-laki mencapai 7 : 1.

Ada pula segelintir kasus skoliosis yang dapat dideteksi penyebabnya. Misalnya congenital scoliosis (kelainan bawaan), yaitu tulang belakang tumbuh abnormal sejak lahir. Selain karena sindrom kerdil, salah satu pelecutnya adalah kekurangan asam folat ketika di dalam kandungan. Ada pula skoliosis karena gangguan otot, infeksi, atau tumor.

Seperti yang dialami Citra Rahimah Amardeka. Gadis 12 tahun ini dideteksi menderita kelainan tulang belakang pada umur tiga tahun. Waktu itu, sudut kemiringannya ”hanya” 30 derajat. Pada usia sembilan tahun, kebengkokan tulang semakin parah: 129 derajat. Fungsi sejumlah organ sudah terganggu akibat tekanan tulang, misalnya katup jantung tidak rapat dan paru tak berfungsi normal, sehingga ia sulit bernapas.

Baru belakangan diketahui kondisi ini terjadi lantaran ia mengidap tumor neurofibromatosis. Tumor yang menyerang otak ini membengkokkan tulang sehingga setiap tahun tulang Citra bertambah bengkok. Maka, selama tiga tahun, gadis kecil ini terpaksa lima kali masuk kamar bedah untuk menjalani koreksi skoliosis.

Operasi memang harus perlahan dan bertahap karena pasien cilik ini termasuk yang berisiko tinggi. ”Kalau salah, bisa lumpuh karena menyangkut saraf otak,” kata Eka Kartika Sanur, ibu Citra. Prosesi sebelum operasi pun tak ringan. Citra wajib digips dari dada hingga paha kiri selama sebulan, sehingga bocah ini hanya telentang di tempat tidur. Baru setelah gips dibuka, pen penyangga ditanam di dalam tulangnya.

Kini kondisi Citra sangat membaik. Meski masih harus sekali lagi dioperasi, siswi kelas I SMP ini sudah berkegiatan normal seperti rekan-rekan sebayanya. Tak boleh beraktivitas fisik ekstrem, memang. Namun Citra sangat suka membaca dan menulis blog.

Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang mungkin membuat tulang bekerja keras? Luthfi menjelaskan, karena merupakan kelainan, skoliosis tidak disebabkan oleh kebiasaan menggotong beban berat di punggung, gerakan-gerakan olahraga, ataupun posisi berdiri dan tidur yang salah. Orang yang terbiasa menenteng ransel berat, misalnya, akan lebih rentan dihajar osteoporosis—bukan skoliosis. Lain ceritanya jika orang itu sebenarnya memendam potensi skoliosis tapi belum terendus dari awal.

Deteksi dini memang mujarab mencegah keparahan. Rahyusalim, spesialis ortopedi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengungkapkan cara mengenali kemungkinan skoliosis sejak awal. Pada bayi, saat dimandikan, perhatikan dengan saksama tulang belakangnya. Amati garis lurus di punggung dari titik tengah di antara dua bahu hingga lipatan bokong.

Pada anak yang sudah bisa berjalan, amati dia saat telanjang dalam keadaan berdiri, duduk, menunduk, dan berjalan. Perhatikan kelurusan dua titik tadi. Apakah saat membungkuk, kedua sisi punggung sama tinggi. Cermati juga apakah ada lipatan di daerah pinggang yang lebih menonjol di salah satu sisi. Lihat juga keseimbangan bahu kiri dan kanan.

Pada remaja—khususnya wanita—perhatikan apakah saat ia membung-kuk ada tonjolan di punggung. Amati pula keseimbangan posisi dan ukuran payudara kiri dan kanan. Jika ditemukan kejanggalan, segera periksa ke dokter.

ANDARI KARINA ANOM, GABRIEL TITIYOGA

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dua Kubu Masyarakat Dalam Budaya Olahraga, yang Malas dan Ekstrem

1 hari lalu

Ilustrasi perempuan olahraga di gym. Foto: Freepik.com/Jcomp
Dua Kubu Masyarakat Dalam Budaya Olahraga, yang Malas dan Ekstrem

Banyak pula orang yang baru mulai olahraga setelah divonis mengalami penyakit tertentu.


Rutin Aktivitas Olahraga, Apa Saja Manfaatnya?

5 hari lalu

Ilustrasi wanita lari di atas tangga. Unsplash.com/EV
Rutin Aktivitas Olahraga, Apa Saja Manfaatnya?

Olahraga bukan hanya tentang membentuk tubuh atau memperkuat otot


Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

12 hari lalu

Presiden Joko Widodo atau Jokowi (tengah) didampingi oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Mendagri Tito Karnavian, MenPAN-RB Azwar Anas, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta sekaligus Kasetpres Heru Budi Hartono saat meresmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama atau Hospital Based (PPDS RSPPU) di RS Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, Senin, 6 Mei 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Jokowi mengatakan kemampuan produksi dokter spesialis Indonesia hanya 2.700 per tahun.


Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

14 hari lalu

Petugas kesehatan melakukan imunisasi pada balita saat pelayanan imunisasi Rotavirus (RV) di Posyandu Nirwana, Kecamatan Karang Tengah, kota Tangerang, Banten, Selasa, 15 Agustus 2023. Imuniasi yang diberikan pada bayi umur 2-4 bulan tersebut bertujuan untuk mencegah diare berat serta mengatisipasi terjadinya stunting. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

Bayi harus menjalani imunisasi karena beberapa alasan tertentu yang akan dibahas dalam artikel ini.


6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

14 hari lalu

Ilustrasi Imunisasi. TEMPO/Fully Syafi
6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

Bayi penting untuk melakukan imunisasi secara rutin agar terhindar dari bahaya kesehatan mendatang. Lantas, apa saja bahaya bagi bayi yang tidak melakukan imunisasi?


Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

21 hari lalu

Jajaran direksi PT Konimex dan PT Indordesa, serta dari Laboratoires Grand Fontaine menggelar konferensi pers peluncuran produk baru FontLife One di Hotel Alila Solo, Jawa Tengah, Jumat, 26 April 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

PT Indordesa-- anak perusahaan PT Konimex, meluncurkan produk makanan nutrisi dan perawatan kesehatan, FontLife One, di Kota Solo, Jawa Tengah.


Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

22 hari lalu

Aeshnina Azzahra Aqilani co Captain River Warrior Indonesia (Riverin) Bergabung dalam Pawai untuk mengakhiri Era Plastik, Ottawa, Kanada 21 April 2024. Foto dok: ECOTON
Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.


Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

23 hari lalu

Presiden Joko Widodo melakukan peninjauan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Toto Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, pada Senin, 22 April 2024. Dalam kunjungannya, Presiden Jokowi meninjau langsung fasilitas dan alat-alat kesehatan yang ada di RSUD tersebut. Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi acap menyampaikan keresahannya soal warga negara Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke negara lain, alih-alih dalam negeri.


5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

23 hari lalu

Ilustrasi wanita alami kepala pusing saat bangun tidur. Foto: Freepik.com/Jcomp
5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

Ternyata lima masalah ini menjadi penyebab penderita diabetes sulit tidur.


Penelitian Ungkap Pelet Plastik Daur Ulang dari Indonesia Mengandung 30 Bahan Kimia Beracun dengan Konsentrasi Tinggi

24 hari lalu

Konferensi pers kandungan racun dalam pelet plastik daur ulang yang dilakukan Ecoton di Gresik, Jawa Timur, Selasa, 23 April 2024. TEMPO/Nur Hadi
Penelitian Ungkap Pelet Plastik Daur Ulang dari Indonesia Mengandung 30 Bahan Kimia Beracun dengan Konsentrasi Tinggi

Proyek penelitian di 13 negara ini bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang bahan kimia berbahaya dalam plastik daur ulang