Namun tak demikian saat ia harus menjalani satu adegan berorasi membakar semangat massa dalam film “Jamila dan Sang Presiden”. Oji – demikian ia biasa disapa – menemui kesulitan. Ia tak berteriak lantang.
Padahal, seperti di skenario, layaknya seorang yang tengah berorasi membakar emosi massa demonstrasi ia harus bersuara keras. “Nggak tahu tiba-tiba pita suaraku seperti ada gangguan. Suara serasa nggak keluar. Sebelumnya aku latihan hingga tiga kali, nggak ada masalah,” ujar Oji saat dihubungi di Jakarta, Kamis (30/04).
Menyadari pita suaranya tidak beres, Oji pun berusaha sekuat tenaga untuk beteriak. Beruntung, setelah menenangkan diri sejenak, suara lantang pun terdengar dan adegan pun tak perlu diulang. “Bisa dibayangkan kalau harus diulang, berteriak keras. Pita suara bisa bertambah parah. Tapi nggak sampai radang kok,” aku pemeran dalam film “Jakarta Under Cover” itu.
Seperti diketahui, dalam film garapan Sutradara Ratna Sarumpaet itu, Oji memerani seorang tokoh kelompok fanatik yang menentang keras pengampunan terhadap Jamila, seorang pelacur yang menghabisi nyawa seorang menteri yang menjadi kekasihnya. Kelompok itu, juga mendesak agar wanita yang pernah menjadi korban perdagangan perempuan, itu dijatuhi hukuman mati. Padahal, sejatinya, massa itu adalah massa demonstrasi bayaran.
Untuk memerani karakter tokoh itu, Oji tak mengalami kesulitan. Ia hanya butuh waktu sepekan untuk mempelajari tokoh yang harus berorasi di depan massa. “Ya cukup nonton di televisi saja pas ada tayangan demonstrasi, plus mempelajari naskah. Praktis cuma butuh waktu seminggu,” aku dia.
Hanya memang, pada film itu, Oji juga mengenakan atribut khas yang indentik dengan atribut yang dikenakan oleh satu kelompk tertentu, yaitu bersorban. Ngomong-ngomong apa tak takut nanti ada protes? “Wah nggak, apalagi ini kan film. Di situ juga nggak menyebut nama atau identitas satu golongan. Kalau atribut, itu kan sifatnya umum. Kalau protes berarti ada apa-apanya...,” ujar Oji disambung tawa.
ARIF ARIANTO