Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Ahmad Manggabarani dalam temu media tentang pengembangan kopi di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta, Kamis (2/7).
"(Mereka) petani berkarakter gurem dengan areal sempit rata-rata setengah hektare," katanya. Kondisi ini membuat Indonesia sulit memaksimalkan produksi maupun mengalahkan dominasi Brasil yang rata-rata areal pertanian kopinya mencapai 60 hektare tiap petani.
Pada 2009 produksi kopi Indonesia mencapai total 689 ribu ton terdiri dari 81 persen produksi kopi Robusta 557 ribu ton dan 19 persen kopi Arabika 131 ribu ton. Devisa ekspor kopi yang disumbangkan di 2008 mencapai kisaran US$ 991 juta serta menyerap 2 juta tenaga kerja.
Presiden Direktur Nestle Indonesia Peter Vogt menambahkan, pada awal pembelian biji kopi dari petani Indonesia pada 1994, presentase biji kopi yang ditolak karena tidak memenuhi standar internasional mencapai 56 persen. Angka ini berkurang drastis hingga mencapai 4 persen setelah dilakukan pembinaan perbaikan mutu kopi.
"Kami mengadakan penyuluhan teknis guna meningkatkan kualitas kopi dan panen," kata dia. Standardisasi kopi yang diminta antara lain biji kopi dengan kadar air maksimal 12 persen dan jumlah nilai cacatnya maksimal 120 butir per karung.
Usai penyuluhan, petani yang awalnya memetik buah kopi sewaktu masih berwarna hijau, sekarang menunggu biji berubah warna kuning dan merah saat masak. Petani yang sebelumnya menjemur biji kopi langsung di atas tanah, mulai beralih menjemur di atas lantai semen. "Ini penting untuk memperbaiki mutu kopi," ucap Peter.
Perusahaan makanan dan minuman multinasional tersebut membeli sekitar 70 ribu ton biji kopi per tahun dari Indonesia dari total 750 ribu ton kebutuhan Nestle untuk memasok 54 pabrik kopi instan yang tersebar di 30 negara.
VENNIE MELYANI