TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah berencana membentuk badan pengawas perdagangan senjata. Tindakan ini diambil setelah eksport senjata PT Pindad tengah bulan lalu bermasalah.
“Seperti yang disampaikan menteri koordinasi politik hukum dan keamanan, pemerintah memandang perlu dibentuknya badan pengawas,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Brigadir Jenderal Slamet Hariyanto saat konferensi pers di kantor dephan Jakarta, Selasa (01/09).
Menurut Slamet, badan pengawas ini memang masih wacana, namun dengan perkembangan yang terjadi sekarang maka wacana itu makin menguat. Badan tersebut, lanjut dia, kemungkinan besar akan berada di bawah koordinasi menkopolkam. “Ya kemungkinan besar di bawah menkopolkam, dengan melibatkan departemen atau institusi terkait,” ujarnya.
Dirut PT Pindad Adik Avianto Sudarsono mengatakan masalah pembentukan badan pengawasan ini sebenarnya sudah menjadi pembicaraan sejak sepuluh tahun terakhir. “Itu memang mutlak sebab hampir semua negara produsen dan pengekspor senjata memiliki badan pengawas ini,” ujarnya.
Badan ini seharusnya juga mengawasi dan berwenang terhadap perkembangan BUMN strategis. “Badan juga berperan dalam memberikan masukan terhadap pembelian alustista”.
Terkait ekspor, badan pengawas bisa berperan penting dalam verifikasi terhadap pembeli senjata. Salah satunya dengan melakukan penelitian terhadap end user certificate sebelum
penerbitan security clearance dan izin ekspor senjata. Agar ada jaminan bahwa pembeli akan melaksanakan kewajibannya dengan benar dan tidak menyalahgunakan senjata yang dibelinya.
Menurut Adik berdasarkan etika, selama ini sertifikat tersebut tidak diperiksa karena prinsip percaya pada negara yang menerbitkannya. “Sebab kamipun melakukan hal yang sama saat membeli peralatan dari luar negeri,” ujarnya. Dengan sertifikat itu lanjut dia penjual dan pembeli saling percaya bahwa jual beli yang dilakukan legal dan telah disetujui oleh negara. “Sertifikat itu dikeluarkan oleh negara si pembeli, bahwa pembeli adalah pihak yang memiliki kapasitas dan sah melakukan pembelian”.
Direktur Teknik dan Industri Pertahanan Direktorat Jendral Sarana Pertahanan Departemen Pertahanan, Laksamana Pertama Sudi Haryono mengatakan bahwa sertifikat inilah yang dijadikan pegangan dephan untuk menelisik pembeli. Dan setiap pengimpor wajib menyertakan sertifikat ini. Dalam kasus pembelian senjata oleh Mali yang kemudian tertahan di Filipina sertifikat ini sudah ada, makanya pembelian bisa dilaksanakan. “Kami yang memberikan izin karena asintel telah memeriksanya dan memberikan rekomendasi,” ujarnya.
Dalam sertifikat tersebut, lanjut Sudi terdapat klausul yang menyatakan senjata yang dibeli tidak akan dialihkan ke pihak ketiga. “Pengguna senjata juga telah dipastikan,” ujarnya.
TITIS SETIANINGTYAS