TEMPO Interaktif,
Jakarta - Baling-baling yang terdapat di pembangkit listrik tenaga angin terus berputar. Perangkat ini terletak di halaman gedung Bella Center, Kopenhagen, yang mulai hari ini menjadi tempat diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama dua pekan, delegasi dari 193 negara di dunia bersidang dalam hajatan yang dikenal juga sebagai Conference of the Parties (COP) ke-15.
Gedung ini sengaja dipilih karena mampu mengurangi emisi gas karbon sampai 20 persen. Panitia meminta 16.500 delegasi dan aktivis menggunakan angkutan umum menuju lokasi ini. Mereka juga meminjamkan sepeda kepada para wartawan yang kemarin mulai melakukan daftar ulang di Bella Center.
Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), menjelaskan, Konferensi Kopenhagen ini sangat penting. "Jadi titik balik mencegah bencana iklim," katanya menyambut para delegasi. Tindakan itu, ujar dia, jadi tuntutan dunia ilmu, mendapat dukungan secara ekonomi, dan kebutuhan bagi generasi masa depan.
Sebelumnya, De Boer memaparkan empat ukuran keberhasilan Konferensi Kopenhagen pada 7-18 Desember 2009. Pertama, seberapa besar negara-negara industri sudi mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Kedua, seberapa besar negara-negara berkembang, khususnya Cina dan India, rela membatasi pertumbuhan emisi gas-gas rumah kacanya.
Ketiga, bagaimana membantu negara-negara berkembang mengurangi emisinya dan beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Keempat, bagaimana mengelola keuangan untuk semua proses ini. "Seandainya Konferensi Kopenhagen dapat mengantarkan keempat poin itu, saya sangat bahagia," kata De Boer.
Harapan De Boer tidak berlebihan. Maklum, pertemuan ini bakal memutuskan protokol baru karena komitmen periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012. Protokol ini dihasilkan pada pertemuan COP ke-3 pada 1997 di Kyoto, Jepang. Protokol ini mewajibkan negara-negara maju atau dikenal Annex I mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5 persen (dari tingkat emisi pada 1990) selama lima tahun atau 2008-2012.
Target itu mengikat secara hukum. Selain itu, mereka wajib membantu mitigasi, adaptasi, alih teknologi kepada non-Annex I atau negara-negara berkembang yang rentan dan memiliki keterbatasan merespons perubahan iklim serta beradaptasi dengan dampak buruknya. Ada 190 negara yang meratifikasi protokol ini, namun Amerika Serikat menolaknya.
Negara Abang Sam ini jadi penghalang utama berjalannya Protokol Kyoto. De Boer melihat dua alasan di balik penolakan Amerika Serikat itu. Pertama, protokol ini tidak melibatkan negara berkembang yang telah maju pembangunannya, seperti Cina dan India. Kedua, pemerintahan Presiden George Bush merasa Protokol Kyoto merugikan perekonomian Amerika.
Memang masalah utama perubahan iklim adalah bagaimana sistem iklim bumi tidak terganggu dan terus memburuk. Kondisi ini terjadi semenjak Revolusi Industri pada abad ke-18, ketika negara-negara maju menggenjot perekonomiannya sehingga mengeluarkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer. Karena itu, pasal 2 dari tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) adalah "menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim."
Kondisi itu harus dicapai dalam suatu kerangka waktu yang memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alamiah terhadap perubahan iklim. Pada pasal 3 ditegaskan bahwa setiap pihak (parties) memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities).
Selain itu, pihak negara maju harus mengambil kepemimpinan dalam menanggulangi perubahan iklim dan dampak negatifnya. Malangnya, komitmen ini tidak ditepati dan kini berupaya digoyang oleh negara maju. "Saya ngeri menghadapi Konferensi Kopenhagen," kata Tri Tharyat, Ketua Kelompok Kerja Pasca 2012, Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Tri mencium upaya membajak Protokol Kyoto oleh negara maju sejak konferensi dilangsungkan di Bangkok dan Barcelona. Kedua acara yang dilaksanakan pada 2009 ini memang persiapan menghadapi Konferensi Kopenhagen. Dua konferensi itu gagal karena, ujar Tri, mereka "ndablek" terhadap komitmen yang ada.
Sesuai dengan Bali Action Plan, negosiasi pada COP melalui dua jalur pembicaraan yang paralel. Pertama, Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action Under the Convention (AWG-LCA). Kedua, Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protokol (AWG-KP) atau penentuan target penurunan emisi Annex-1 sebagai sebuah kelompok maupun untuk masing-masing negara.
Negara-negara maju setuju membuat target baru untuk komitmen periode kedua yang dimulai pada 2013. Namun mereka cuma mengusulkan target 16-23 persen, jauh di bawah usulan negara-negara miskin (LDC) dan SIDS (Small Island Developing States) yang 45 persen dari level 1990 pada 2020.
Pada jalur negosiasi AWG-LCA, Amerika menyerukan pergantian target ekonomi secara internasional yang mengikat, seperti dalam Protokol Kyoto. Mereka mengusulkan pendekatan "janji dan tinjau". Melalui proposal ini, tiap negara berjanji melakukan aksi nasional terbuka yang terukur, terlaporkan, dan terverifikasi (measurement, reporting and verification/MRV) oleh negara lain dan kemudian digabungkan untuk membuat jumlah keseluruhan secara global.
Proposal Amerika Serikat tampaknya menarik perhatian sejumlah negara berkembang melakukan pengurangan emisi secara sukarela. India, salah satu contohnya. Negara ini mempertimbangkan menerapkan MRV jika langkahnya didukung teknologi dan keuangan negara maju.
Hampir seluruh negara maju ingin dua jalur negosiasi di atas digabung ke dalam kesepakatan baru yang tunggal. Namun banyak negara berkembang yang nyaman dengan strategi jalur ganda itu, amandemen Protokol Kyoto dan menghasilkan kesepakatan baru dari jalur LCA. Mereka khawatir kesepakatan tunggal akan menghilangkan sebagian atau keseluruhan Protokol Kyoto dan melemahkan upaya menghadapi Amerika Serikat.
Selain mitigasi atau upaya mengurangi gas-gas rumah kaca, isu lain yang mengemuka dalam COP adalah pendanaan, adaptasi, dan transfer teknologi. Menurut Tri, konferensi di Bangkok dan Barcelona masih menyisakan 120 halaman teks yang belum disepakati (bracket) tentang isu-isu tersebut. "Karena itu, Konferensi Kopenhagen bagi saya merupakan the long and winding road," katanya mengutip lagu karangan Paul McCartney, personel Beatles.
Tri melihat pada empat isu tersebut, konflik tidak hanya terjadi antara negara maju dan berkembang. Tapi juga antarnegara berkembang. Misalnya antara negara-negara OPEC dan AOSIS (Aliansi Negara Kepulauan Kecil). "Mereka musuh bebuyutan dalam setiap COP." Perseteruan juga terjadi sesama negara maju.
Presiden European Commission Jose Manuel Barroso pada September lalu mengingatkan bahaya yang bakal terjadi jika Konferensi Kopenhagen gagal. "Jika kita tidak memutuskan persoalan ini sekarang, berisiko menjadi bunuh diri terpanjang dalam catatan sejarah." Tentunya puluhan kepala negara yang hadir di Kopenhagen tidak mau dicatat sejarah "melakukan pembiaran" terhadap bencana iklim.
UNTUNG WIDYANTO