TEMPO Interaktif, Surakarta - Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Hartiwiningsih, menilai selama ini penegakan hukum pidana lingkungan masih lemah. Pelaku perusakan lingkungan sering hanya diberi hukuman yang ringan, baik penjara maupun denda.
"Paling vonisnya hanya dua-tiga bulan penjara. Padahal hukuman maksimalnya bisa sampai 10 tahun," katanya, Jumat (11/12).
Dia berpendapat lemahnya penegakan hukum disebabkan kultur yang terbangun di masyarakat bahwa perbuatan yang merusak lingkungan adalah perbuatan pidana biasa.
Bahkan, lanjutnya, karena dianggap sebagai kasus biasa, kepolisian biasanya baru bereaksi ketika ada delik aduan dari masyarakat perihal kerusakan lingkungan. "Seharusnya kepolisian juga proaktif, sama seperti saat menangani kasus korupsi, narkotika, dan lainnya," tandasnya.
Menurutnya, jika dilihat dari segi hukum pidana lingkungan, maka kejahatan lingkungan adalah kejahatan luar biasa karena pelakunya tidak hanya menghancurkan kehidupan manusia, tetapi juga harta benda, lingkungan hidup, dan kesejahteraan. "Sehingga penanganannya juga harus luar biasa dan lebih serius lagi," tegas guru besar hukum pidana lingkungan tersebut.
Selain perkara kultur, dia menilai lemahnya penanganan kasus pencemaran lingkungan karena belum memiliki payung hukum yang kuat. Hal itu karena belum termuat dalam konstitusi sebagai hukum yang tertinggi.
"Dalam Undang-Undang Dasar 1945 masalah lingkungan hidup belum diatur secara khusus dalam pasal tersendiri," jelasnya. Untuk itu, dia berharap dalam amendemen selanjutnya, masalah tersebut diperhatikan oleh para pengambil kebijakan.
Dia menambahkan, akibat dari penegakan hukum yang lemah, banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang tidak tuntas. Dia mencatat, dari 33 kasus pidana perusakan lingkungan di Indonesia, baru enam kasus yang dapat diputus di pengadilan. Sisanya tidak jelas bagaimana penyelesaiannya.
Pemerintah disebutnya juga tidak berpihak kepada lingkungan hidup. Hal ini tecermin dari belum adanya perusahaan kategori hitam yang diajukan ke meja hijau.
"Berdasarkan pemeringkatan kinerja perusahaan dalam kategori lingkungan hidup, dari 516 perusahaan, 128 di antaranya berpredikat hitam alias merusak lingkungan dalam operasionalnya. Namun pemerintah seolah tutup mata dan membiarkannya," keluhnya.
Di Jawa Tengah sendiri, dia menyebut dari 644.955 industri yang ada, baru 296 unit industri yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Dia memperkirakan, ada tiga juta meter kubik limbah cair yang dibuang ke sungai tanpa melalui pengolahan air limbah.
"Seharusnya hal ini menjadi perhatian pemerintah. Apa yang sudah dilakukan perusahaan tersebut masuk kategori pidana lingkungan," ujarnya.
UKKY PRIMARTANTYO