TEMPO Interaktif, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mengingatkan bahwa sistem ketatanegaraan yang dianut negeri ini adalah sistem presidensial. Sistem tersebut tidak mengakomodir mosi tidak percaya atau impeachment yang bisa dilakukan setiap saat.
"Parlemen tidak boleh bermindset dengan cara pandang setiap saat bisa menjatuhkan pemerintah, semacam mosi tidak percaya," kata Yudhoyono saat memberikan pengarahan di Rapimnas TNI di Mabes TNI, Senin (25/01).
Menurut presiden, meski ada aturan impeachment tapi tidak dalam semangat, bahwa setiap saat parlemen bisa seperti mengeluarkan mosi tidak percaya. "Completely different, aturan impeachment jelas," katanya.
Apa itu aturan impeachment, kemudian dijelaskan presiden. Pertama, apabila presiden dan atau wapres melaksanakan pelanggaran hukum yang berat, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, menerima suap dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang berat lainnya.
Kedua, apabila melakukan perbuatan tercela. Ketiga, apabila sudah tidak lagi mampu mengemban tugas sebagai presiden dan wapres secara jasmani dan rohani. Presiden mengajak semua untuk kembali pada pemahaman yang utuh dan bulat terhadap undang-undang atau konstitusi. "Kita semua adalah konstitusionalis yang merujuk segala sesuatunya pada UUD, kalau diturunkan dalam UU, sebagai turunan dari UUD itu," katanya.
Hal ini, kata presiden, perlu dirumuskan agar rakyat mendapatkan kepastian dan tidak menjadi bingung dalam menjalani kehidupan bernegara. "Ini masalah yang mendasar dan harus dipahami dalam menjalani kehidupan bernegara," katanya.
Presiden kembali menyatakan dalam pertemuan di Bogor dengan pimpinan lembaga negara yang membahas pelbagai permasalahan bangsa, salah satunya sistem ketatanegaraan. Kembali ditegaskanya sistem yang dianut oleh negara kita adalah sistem kabinet presidensial. "Ini perlu dijernihkan dan diluruskan pemahamannya oleh kita semua," katanya.
Menurutnya, meskipun dua sistem tersebut ditujukan ada check and balances, namun dalam parlementer, bisa saja perlemen mengeluarkan mosi tidak percaya baik kepada menteri atau kepada kabinet sehingga kabinet itu harus bubar. "Kadangkala kabinet hanya berusia tiga bulan, setahun dianggap lama, oleh karena itu pada tanggal 5 juli 1959, kita kembali kepada UUD 1945," katanya.
Kemudian, bisa saja sistem bahwa kepala pemerintahan bisa membubarkan parlemen atau melikuidasi kabinet, itu adalah sistem kabinet parlementer. Sedangkan sistem presidensial, presiden tidak bisa membubarkan parlemen.
GUNANTO ES