TEMPO Interaktif, Mataram - Terbukanya peluang laki-laki maupun perempuan di Lombok menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan Timur Tengah, menimbulkan masalah dalam rumah tangga penduduk di Kabupaten Lombok Timur, di antaranya perselingkuhan dan perceraian.
Ketua Advokasi Buruh Migran Indonesia (ABMI) Lombok Timur di Selong, Roma Hidayat, yang melakukan pendampingan terhadap TKI atau TKW di daerahnya sejak 2000, mendapati tingginya angka perselingkuhan dan perceraian di antara TKI yang mencapai 78 persen dari sekitar 700 kasus perceraian selama setahun. ‘’Sangat tinggi perselingkuhan dan perceraian di antara mereka,’’ ujarnya.
Ironisnya, justru perceraian karena perkara gugat cerai yang diajukan oleh istri. Padahal, sebenarnya selama ini di Lombok menjadi seorang janda itu adalah aib. ’’Tetapi sekarang mereka berlomba-lomba, karena tanpa izin suami lagi mudah menjadi TKW,’’ kata Roma yang tinggal di Desa Lepak, sekitar 15 kilometer selatan Kota Selong.
Dia mengatakan Desa Suralaga yang sewaktu dicacah jumlah TKI-nya sebanyak 1.476 orang, sebanyak 80 persen adalah perempuan yang hampir 100 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di Desa Suntalago, Kecamatan Swela, jumlah TKW-nya hingga 2.000 orang. Di sini, hampir seluruh warga yang berusia muda pernah bekerja sebagai TKI.
Faktor lain penyebab perceraian adalah kebutuhan biologis saat suami bekerja sebagai TKI. Kalaupun nafkah hasil bekerjanya dikirimkan kepada keluarganya secara berkala, namun kebutuhan biologis juga menimbulkan masalah. ’’Istilahnya di sini, cek memang dikirim, tapi tidak ada cok untuk istri,’’ ujarnya.
Perselingkuhan terjadi bisa sewaktu ditinggal suami pergi bekerja di Malaysia atau justru sebaliknya suaminya pulang membawa istri baru pulang kampung. Ironisnya, bila istri yang bekerja sebagai TKI di Timur Tengah, mereka yang meminta cerai karena beralasan hendak menikah lagi di tempatnya bekerja.
Roma juga mengatakan tidak sedikit adanya gangguan terhadap istri yang ditinggalkan pergi bekerja oleh suami di luar negeri. Ini dilakukan oleh laki-laki yang semula menjadi pengantar (tukang ojek) para istri dari rumah di desanya untuk mengambil uang di kota. ’’Ya kalau istilahnya witing trisno jalaran soko kulino,’’ ucap Roma.
SUPRIYANTHO KHAFID