Dia mengatakan, proyeksi itu berdasarkan tren fluktuasi harga minyak mentah dunia selama beberapa tahun terakhir. Biasanya, kata dia, pasca lonjakan tinggi harga minyak akan kembali ke level sebelum lonjakan itu terjadi.
Yudhi mengingatkan, lonjakan harga minyak tertinggi terjadi ketika resesi 2008. Harga minyak saat itu mencapai lebih dari US$ 147 per barel akibat jebloknya pasar modal sehingga mendorong spekulan beralih ke pasar komoditas.
"Sekarang keadaannya berbalik, capital market naik, spekulator yang tadinya bermain di pasar komoditas akan beralih lagi," kata Yudhi seusai mengikuti pertemuan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan para ekonom di kantor Kementrian Keuangan, Kamis (11/3). Artinya, lanjutnya, faktor pendorong harga minyak ke atas menjadi berkurang.
Disinggung soal ancaman lonjakan harga minyak terhadap ketahanan anggaran 2010, Yudhi mengatakan, berdasarkan perhitungan pemerintah setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel masih akan berdampak sama terhadap penerimaan maupun belanja negara.
Meski demikian, seharusnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang akan membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010 tetap mewaspadai berbagai potensi pembengkakan defisit.
Jika ICP benar-benar tak terkendali, kata dia, seharusnya beberapa alokasi anggaran bisa ditangguhkan terlebih dahulu untuk mencegah pembengkakkan defisit yang lebih tinggi.
Dia mencontohkan anggaran pendidikan. Purbaya mengingatkan, selain subsidi, kenaikan defisit dalam RAPBNP juga disebabkan upaya pemerintah untuk memenuhi ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja negara. "Saya pikir Dewan bisa dirayu agar anggaran pendidikan jangan naik dulu, mungkin bisa (ditunda) tahun depan atau cara lainnya," ujarnya.
Menurut dia, sebagai ekonom, sukar berharap anggaran pendidikan nasional bisa merealisasikan secara efisien alokasi anggaran hanya dalam beberapa bulan pasca penetapan RAPBNP.
AGOENG WIJAYA