Para balita tersebut meninggal karena terserang infeksi opportunistik yang menyebabkan mereka jatuh pada gizi buruk. "Mereka tidak terawat dengan baik oleh keluarganya," kata Koordinator Konselor Klinik Voluntary Councelling and Testing (VCT) Rumah Sakit Daerah dr Soebandi Jember, Justina Evi Tyaswati, Jumat (26/3) pagi.
Balita malang itu mendapatkan 'warisan' virus mematikan tersebut dari orang tuanya, yang kebanyakan, telah meninggal dunia lebih dahulu. Sebagian besar dari balita tersebut dirawat oleh anggota keluarga lain yang kurang memiliki pemahaman dan kesadaran pentingnya konsistensi pemberian obat ARV pada balita yang mereka rawat.
Padahal, kata Evi, balita yang menderita HIV memang membutuhkan penanganan ekstra dibandingkan orang dewasa yang menderita HIV. "Tanpa HIV pun, kondisi kekebalan tubuh balita masih belum stabil, apalagi ditambahi HIV yang menggerogoti kekebalan tubuh," kata Evi.
Menurut Evi, tingkat absorbsi ARV para balita tersebut rendah. Seringkali, kata dia, obat yang diberikan untuk satu bulan, masih tersisa hingga bulan berikutnya. Padahal, konsumsi ARV tidak boleh telat, jika tidak virus menjadi resisten sehingga tetap bisa bereplikasi dan menyerang kekebalan tubuh. Akibatnya, infeksi opportunistik, atau penyakit yang mencuri kesempatan saat kekebalan tubuh melemah, seperti TBC dan jamur, menyerang.
Evi menepis anggapan lama yang mengatakan bahwa balita pengidap HIV tidak bisa bertahan melewati usia 5 tahun. "Sulit memang, tapi bukan tidak mungkin," katanya. Dia mencontohkan salah satu anak yang dirawat tim RSD dr Soebandi sejak balita kini sudah berusia 7 tahun dan kondisinya sangat baik.
Sejak klinik VCT berdiri tahun 2006 hingga Maret 2010 tercatat jumlah pasien balita yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 11 anak, empat diantaranya telah meninggal dunia.
Klinik VCT, lanjut Evi, kini terus melakukan pemantauan terhadap perkembangan tujuh balita yang mengidap HIV/AIDS supaya daya tahan tubuhnya stabil dan bisa bertahan hidup lebih lama.
MAHBUB DJUNAIDY