Hendi menjelaskan, saat ini PGN mengalami kekurangan pasokan dalam jumlah besar antara 100 hingga 120 juta kaki kubik per hari. Bahkan, dengan berhentinya pasokan dari Offshore North West Java, kekurangan bisa mencapai 150 juta kaki kubik per hari. Untuk menutup defisit, gas diambil dari sejumlah lapangan gas dengan kontrak yang sangat mahal. Akibatnya PGN menaikkan harga gas 15 persen.
PGN menjual gas per 1 April untuk golongan K1 naik dari 3,8 per MMBTU menjadi US$ 4,3 per MMBTU dan biaya angkut gas dari Rp 650 menjadi Rp 750 per meter kubik, adapun untuk golongan K2 naik menjadi US$ 4,3 per MMBTU dengan biaya angkut gas Rp 770 per meter kubik. Harga itu berlaku untuk Jakarta, Bekasi, Karawang, Bogor, dan Banten.
PGN membeli dari exentension Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java yang mencapai US$ 5,4 per MMBTU, gas baru dari Medco yang totalnya mencapai 82 MMSCFD dengan harga US$ 5-5,4 per MMBTU. Kemudian harga suplai dari Pertamina di bagian Barat Jawa sudah mencapai US$ 4,5 per MMBTU.
Hendi mengatakan, Perusahaan Gas menerapkan harga yang berlaku secara regioal, dan itu akan mencerminkan harga pembelian pemerintah dan biaya operasional dari masing-masing daerah maupun regional. "Ini akan menerapkan prinsip fairness (keadilan)," katanya.
Kurangnya pasokan ini menyebabkan PGN menerapkan biaya tambahan atau surcharge sebesar 300 persen bila konsumen menggunakan gas melebihi kuota. Karena, bila ada pelanggan yang menggunakan gas secara berlebih berarti ada pelanggan yang kekurangan gas. "Ini untuk memberi sanksi pelanggan yang memakai volume di atas kontrak," katanya.
Hendi mengatakan, PGN telah mempunyai rencana untuk memasang alat automatic meter reading dan flow limiter. "Maksimal dalam dua tahun ke depan mekanisme ini bisa membatasai pemakaian di atas kontrak," tuturnya. Dengan demikain, nantinya biaya tambahan tidak lagi diperlukan.
IQBAL MUHTAROM