Selain itu, ada kemungkinan masuknya investasi telepon genggam di Indonesia, seperti Nokia. "Kami minta Nokia membuat pabrik di luar Finlandia, seperti di Cina dan India," kata Tifatul di Jakarta, Rabu (28/4. Menurut dia, pihak Nokia memandang ada prospek peluang investasi di Indonesia.
Saat ini perputaran uang di bisnis teknologi dan informasi sekitar Rp 300 triliun per tahun. Adapun belanja modal mencapai Rp 70-80 triliun. Namun, belaja sebesar itu masih didominasi pihak asing. "Maka, kami minta perusahaan telekomunikasi asing memperluas mitra lokalnya di Indonesia," ujar dia.
Bila dilihat dari sisi konsumsi, Indonesia termasuk konsumen produk-produk telekomunikasi dan komunikasi besar. "Pengguna telepon genggam di Indonesia mencapai 160 juta pengguna," kata dia. Kondisi ini sangat prospektif untuk investasi bisnis.
Meski demikian, Wakil Ketua Komite Tetap Pendanaan dan Prasarana Investasi Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Rakhmat Junaidi, mengatakan masih terdapat sejumlah hambatan bagi perkembangan industri telekomunikasi.
Dia menyebutkan, salah satu kendala itu target penerimaan negara bukan pajak dari industri telekomunikasi yang mencapai Rp 4,2 triliun. "Bagi kami nilai tersebut jadi biaya," kata Rakhmat yang meminta pemerintah memberi insentif untuk mengurangi biaya usaha semacam itu.
Menurut Rakhmat, kalangan industri juga masih keberatan terhadap bea masuk yang dibebankan pada impor komponen. "Masih ada bea masuk untuk komponen produk telekomunikasi sebesar 5 persen hingga 10 persen," ujarnya.
Pemberian insentif diyakini dapat mendorong perkembangan industri. Saat ini, investasi di industri TIK meningkat sebesar 10 persen hingga 20 persen per tahun. "Kalau biaya usaha berkurang, maka akan lebih banyak dana untuk investasi," kata dia.
EKA UTAMI APRILIA