Selama ini Indonesia dinilai memiliki potensi gas metana terbesar di dunia yang mencapai 453,30 triliun kaki kubik (TCF). "Terutama di daerah Sumatera Tengah dan Selatan, serta Kalimantan," kata Direktur Utama dan CEO VICO, Craig Stewart, di Jakarta, Rabu (28/4).
Coalbed methane merupakan bahan bakar dari gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon dan gas non-hidrokarbon dalam batu bara yang diperoleh melalui proses kimia dan fisika.
Sama seperti gas alam, namun perbedaannya coalbed methane berasosiasi dengan batu bara sebagai sumbernya. Sedangkan gas alam, walau sebagian ada yang bersumber dari batu bara, namun diproduksi dari sumber pasir, gamping maupun rekahan batuan beku.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Evita Herawati Legowo mengatakan, pengadaan coalbed methane akan diperoleh dari sumber di Kalimantan dan Sumatera. Lapangan yang akan dikembangkan sendiri adalah Pulang Pisau, Sangatha 1, Barito Banjar 1, Tanjung Enin dan Sekayu.
"Saya ingin desa yang dekat sumber itu memiliki listrik nyala," katanya. Evita mengatakan, penggunaan coalbed methane saat ini akan diprioritaskan untuk listrik dulu. "Berikutnya bisa untuk LNG. Itu ambisi kita," ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh menjelaskan, penggunaan coalbed methane sejalan peta jalan penggunaan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar konvensional, seperti minyak dan gas.
"Terutama mempertimbangkan bahan bakar konvensional tidak akan bisa memenuhi permintaan pasar terutama setelah puncak produksi gas tahun 2016," kata Darwin
Pemerintah telah menyusun road map penggunaan CBM. Tahun depan merupakan proyek percontohan penggunaan CBM untuk pembangkit listrik. Pada 2015 direncanakan produksi CBM mencapai setara gas 500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), kemudian menjadi setara gas 1.000 juta kaki kubik per hari pada 2020, dan pada 2025 mencapai 1.500 juta kaki kubik per hari.
RATNANING ASIH