TEMPO Interaktif, Jakarta -
Puluhan batang pohon kelapa berjejer di pesisir Pantai Slopeng, Sumenep, Madura, Kamis pekan lalu. Di atas batang nyiur itu, bertengger sebuah perahu besar yang diikat dan ditarik ratusan orang. Sejak pagi, mereka berusaha "menggeret" kapal berbobot 20 ton itu dari "bengkelnya", yang berjarak 20 meter dari bibir pantai. "Setiap ditarik, hanya bergeser beberapa sentimeter," kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Sumenep Mohammad Natsir kepada Tempo.
Pada petang hari akhirnya kapal itu terapung di pantai yang berjarak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Sumenep. Kapal itu bukan sembarang kapal. Itu adalah replika kapal dagang pada zaman Majapahit yang disadur dari relief yang ada di Candi Borobudur. Namanya "Spirit of Majapahit".
Gagasan pembuatan kapal datang dari sebuah komunitas Japan Majapahit Association (JPA), kelompok pengusaha di Jepang yang peduli terhadap sejarah dan kebudayaan Kekaisaran Majapahit. "Kapal ini dibuat untuk mengenang kerja sama pasukan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Jepang saat berperang melawan pasukan Kerajaan Cina di Samudra Pasifik," kata anggota JPA, Takajo Yoshiaki. Karena itu, ongkos pembuatan kapal yang mencapai Rp 900 juta itu ditanggung pemerintah Indonesia dan Jepang.
Kapal ini sangat khas karena berbentuk oval dengan kedua ujung melancip supaya dapat memecah ombak setinggi 5 meter. Kapal ini memiliki dua kemudi dari kayu di buritan dan cadik pada kedua sisi yang berfungsi sebagai penyeimbang. Layar dipasangkan pada tiang-tiang membentuk segitiga sama sisi dan buritan atau bagian belakang kapal lebih tinggi dari haluan atau bagian depan.
Agar tampilannya persis seperti kapal pada abad ke-15, tak setetes cat pun melekat pada kayu jati, yang menjadi bahan utama pembuat kapal itu. Satu-satunya alat modern yang digunakan pada kapal itu adalah mesin diesel berkekuatan 150 PK untuk menambah kecepatan sekaligus berjaga-jaga dalam keadaan darurat.
Sebagai kapal tradisional terbesar di Indonesia dengan panjang 20 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 2 meter, Spirit Majapahit dibuat dari 28,63 kubik kayu jati tua dan kering. "Kayu seperti ini hanya ada di Kabupaten Tuban dan Rembang," kata penanggung jawab teknisi kapal Spirit Majapahit, Supardi. Adapun bahan lain, seperti bambu petung dan kayu pereng, yang masing-masing digunakan untuk membuat cadik dan pasak, dapat ditemukan di daerah Sumenep.
Dalam tempo 3 bulan, 15 ahli pembuat kapal dari sejumlah desa nelayan di Sumenep berhasil menyelesaikan tugas mereka. Proses pembuatan kapal ini tergolong unik karena pengerjaannya dimulai dari cekungan lambung kapal, kemudian memasang rangka. Padahal biasanya pembuatan kapal dilakukan sebaliknya. Sebelum menyentuh air laut, kapal ini diruwat dengan menggelar tahlilan agar membawa keselamatan.
Untuk pembagian ruang, terdapat dua dek di kapal itu. Dek paling bawah sebagai ruang multifungsi yang dapat digunakan untuk istirahat, salat, memasak, dan makan. Sedangkan dek paling atas berfungsi sebagai ruang nakhoda dan navigasi. Bahan makanan dan logistik ditempatkan pada lambung kapal bagian depan.
Pada 4 Juli nanti, kapal tersebut akan berlayar ke delapan negara selama lima bulan. Negara tujuan pertama adalah Brunei Darussalam, kemudian Filipina dan Jepang. Di Jepang, kapal akan singgah ke lima kota, yakni Okinawa, Kagoshima, Tokyo, Osaka, dan Fukuoka. Perjalanan dilanjutkan ke Shanghai (Cina), Vietnam, Bangkok (Thailand), dan Singapura. "Pada akhir Desember, kapal sudah kembali ke Indonesia." kata Natsir.
Sepuluh orang telah terpilih untuk mengarungi lautan bersama kapal ini. Mereka adalah Mayor (Laut) Eko Denny Hartono dan Mayor (Laut) Riski Prayudi dari TNI Angkatan Laut, sebagai nakhoda, serta tiga warga negara Jepang dan lima anak buah kapal dari suku Bajo di Pulau Sapeken, Sumenep.
Setelah misi usai, kapal Spirit Majapahit rencananya dimuseumkan dan menjadi obyek wisata. Natsir berharap kapal itu akan disimpan di Kabupaten Sumenep untuk menarik minat wisatawan.
Musthofa Bisri|spiritmajapahit.com