Menurutnya, peraturan disebut dibuat agara masyarakat tidak memiliki aturannya tersendiri. "Kalau dicabut atau direvisi nanti masing-masing agama akan memegang aturannya sendiri dan bisa kacau karena memicu benturan umat beragama,"ujar Amidhan.
Amidhan melanjutkan, yang harus dibenarkan adalah implementasi peraturan. "Kalau bisa memenuhi syarat itu tidak akan ada masalah, kalau tidak berarti pemda setempat yang harus berupaya memberikan tempat lain bagi mereka untuk beribadah,"ungkapnya.
Baca Juga:
SKB Dua Menteri no.8 dan 9 tahun 2006 menjadi masalah semenjak muncul kasus pendirian Gereja di Ciketing, Bekasi. Jemaah Gereja HKBP itu diserang oleh kelompok tertentu yang menganggap mereka tidak boleh melakukan ibadah di wilayah tersebut karena belum memenuhi persyarataan PBM. Dalam aturan tersebut disebutkan antara lain jumlah minimal jemaah pengguna rumah ibadah yaitu 90 orang dan adanya dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.
Menyikapi permasalahan tersebut, ungkap Amidhan, masyarakat harus dapat membedakan antara kebebasan beragama dan beribadah dengan pendirian tempat ibadah. "Soal pendirian sudah ada aturannya yang disepakati semua agama ketika itu, laksanakan saja, jangan khianati kesepakatan,"tegasnya.
Secara terpisah, ketua umum Persatuan Gereja Indonesia pendeta Karel Erari menyatakan pemerintah telah melanggar konstitusi negara dengan adanya peraturan tersebut. "Negara absen dan melanggar konstitusi itu pelanggaran berat terhadap kehidupan beragama karena itu PBM harus dicabut tanpa syarat."jelasnya.
Serupa dengan Karel, aktivis keagamaan Jacobus Mayong juga menginginkan PBM untuk dicabut."Lebih baik diatur saja dalam peraturan tata ruang bukan PBM."ucapnya.
RIRIN AGUSTIA