Di rumah itulah Komisaris Jenderal Timur Pradopo, yang namanya tiba-tiba mencuat sebagai kandidat Kepala Kepolisian RI dibesarkan. Di dusun itu pula Pradopo kecil menghabiskan masa kecil hingga dewasa.
Dusun yang menjadi kampung bagi sebagian kecil perjalanan hidup Timur Pradopo terletak di tengah hamparan sawah, jauh dari ingar bingar kota. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Jombang. Jalan aspal menuju kampung itu penuh lubang.
Mayoritas warga bekerja sebagai petani dan buruh tani. Menanam padi, kedelai, dan jagung merupakan aktivitas warga sehari-hari.
Di dusun itu, warga dan para sahabatnya memanggil Pradopo kecil dengan Timung. ”Timung tinggal di sini sejak kecil sampai dewasa,” kenang Suarti, bibik Pradopo kepada TEMPO. Selasa (5/10). Kini, Suarti berusia 77 tahun.
Menurut cerita Suarti, Pradopo mulai tinggal di kampung itu ketika berusia tujuh bulan. Dia dibawa orang tuanya dari Kabupaten Blitar karena alasan pekerjaan. Sang ayah, Sigit Sai’un, dan ibunya, Sriati, sama-sama bekerja sebagai guru sekolah negeri di Kertosono dan Jombang.
Di Gempol itulah Timung menamatkan pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Dia meninggalkan Dusun Gempol, menurut sepengetahuan Sriati, setelah Timung diterima di sekolah kepolisian. Sriati tidak tahu persis nama sekolah yang ditempuh keponakannya tersebut.
Usia Suarti terlalu tua untuk mengingat satu persatu riwayat Timung, termasuk tahun kelulusan sekolahnya. “Yang saya ingat. Timung pendiam, tapi disiplin dan tegas. Beranjak dewasa, dia baik dan cerdas. Dia itu kan anak pertama dari tujuh bersaudara, jadi harus seperti itu,” tutur Suarti yang juga bekas pengasuh Pradopo kecil itu.
Sriati bahkan mengaku lupa bagaimana wajah keponakanya itu. Maklum, sudah hampir 10 tahun Pradopo tidak pernah berkunjung ke Jombang. ”Yang saya tahu dia sibuk,” ucap Sriati.
Kedisiplinan dan ketegasan Pradopo juga dirasakan sepupunya, Wilujeng. Dia menceritakan, pernah suatu waktu warga Gempol mengalami kecelakaan. Seperti biasa, warga korban kecelakaan itu tidak mau beresiko mengurusi masalahnya. Dia meminta bantuan Pradopo. Tapi ditolak. Pradopo justeru meminta warga tersebut menyelesaikan masalahnya sesuai dengan prosedur kepolisian.
Slamet Sutrisno, salah seorang sahabat Pradopo semasa SD, mengisahkan Pradopo kecil juga suka bermain di sawah. Dia jago bermain bola voli. Menurut Slamet, yang membedakan Pradopo kecial alias Timung dengan siswa lainnya, Pradopo memiliki otak yang cerdas. Pradopo selalu menjadi bintang kelas. ”Timung itu cerdas, serius, disiplin belajarnya. Dia pernah tidak lulus SD. Tapi itu karena usianya masih belia,” kisah Slamet.
Perangai Pradopo di kampung juga sederhana. Setiap hari dia bergaul dengan anak-anak seusianya. Dia juga tekun merawat tujuh adiknya. Kondisi perekonomian keluarga Pradopo saat itu juga terbilang biasa-biasa. Rumah tinggal Pradopo terlampau sempit untuk menampung seluruh anggota keluarga. Hanya ada empat kamar, satu ruang tamu, dan satu dapur.
Saat ini rumah itu tak berpenghuni. Seluruh anggota keluarga pergi, termasuk ibu dan adik-adiknya. ”Rumah ini saya bersihkan dengan beberapa kawan. Wong gak ada penghuninya,” tutur Slamet. Hal itu dibenarkan warga lain, Gatot Subianto, yang ikut membersihkan rumah itu.
TEMPO mencoba melonggok ke dalam rumah itu. Tidak ada perabot lain yang tersisa selain dua ranjang bambu, satu meja, dan sebuah lemari tua berisi tumpukkan buku yang dipenuhi rayap.
Gatot tidak tahu kapan terakhir kali menyambangi kampung yang pernah membesarkannya. Gatot hanya sempat mendengar kabar bahwa Pradopo berziarah ke makam ayahnya beberapa tahun lalu. Usai berziarah, Pradopo menyalami seluruh warga yang dijumpainya. Bahkan, beberapa warga mengaku diberi uang. ”Seandainya saya ketemu, pasti saya juga diberi uang,” candanya sambil terkekeh. MUHAMMAD TAUFIK.