TEMPO Interaktif, Jakarta: Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang ambang batas kadar zat makanan dalam produk mi instan. Menurut Ketua YLKI Husna Zahir, pemerintah dapat mencontoh negara lain yang memiliki ambang batas lebih rendah dibanding Indonesia. "Kalau negara lain saja bisa, kenapa tidak," ujarnya saat dihubungi, Rabu (13/10).
Husna menyatakan, meskipun Indonesia memiliki ambang batas yang lebih rendah dibanding standar Internasional, ambang batas ini masih dapat ditekan. Alasannya, zat pengawet dalam produk mi instan masih memiliki efek terhadap konsumen. "Efeknya memang jangka panjang, seperti megakibatkan alergi," ujarnya.
Umumnya konsumen tak sadar bahaya dari zat pengawet dalam mi instan itu. Padahal pasar terbesar bagi produk mie instan adalah masyakarat kelas menengah ke bawah. "Biasanya mereka tidak sadar kalau makanan yang mereka konsumsi memiliki efek besar," ujar Husna.
Menurut Husna, sangat mungkin bagi produsen untuk memproduksi mi instan tanpa zat pengawet. Ia mengacu pada pengakuan manajemen PT Indofood yang mengklaim memproduksi mi instan yang bebas dari nipagin --zat pengawet dalam kecap dan saus Indomie-- untuk produk yang dieksport ke Taiwan. "Kalau untuk luar negeri saja bisa, kenapa untuk dalam negeri tidak," ujarnya.
Polemik Zat pengawet dalam mi instan muncul setelah Taiwan melakukan boikot produk mi instan merk Indomie. Taiwan mengatakan bahwa produk yang mereka temukan di lapangan mengandung nipagin yang dilarang.
Namun berita ini dibantah oleh PT Indofood, produsen Indomie. Menurut mereka, Indomie yang dieksport ke Taiwan sudah memenuhi ketentuan yang berlaku. Indofood menduga produk yang ditemukan pemerintah Taiwan bukan produk yang secara resmi dieksport oleh Indofood, tapi adalah produk Indomie yang diperuntukan bagi pasar Indonesia yang memang memiliki spesifikasi berbeda.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan, Endang R Sedyaningsih, menyatakan bahwa Indomie aman untuk dikonsumsi. Alasannya, kadar nipagin dalam Indomie masih memenuhi ambang batas yang ditentukan pemerintah, yaitu sebesar 250 miligram/kilogram. Endang menyatakan, ambang batas ini masih dibawah ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebesar 1000 miligram/kilogram.
Febriyan