Achmad Rubai, satu-satunya eksportir gula merah ke negeri Jepang mengaku mengalami penurunan permintaan yang cukup besar sejak enam bulan terakhir.
Sebelumnya dia mampu melakukan pengiriman sebanyak 244,8 ton dalam setengah tahun, kali ini hanya 122,4 ton. “Tiba-tiba saja permintaan mereka menurun,” kata Rubai kepada Tempo, Rabu (3/11).
Sejak tahun 1995, usaha pembuatan gula merah yang dilakukan Rubai di Desa Slumbung, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, menjadi satu-satunya eksportir ke negara Jepang.
Berbeda dengan gula merah untuk pasar lokal, gula merah buatan Rubai berbentuk segi empat dengan berat 30 kilogram. Gula tersebut dikemas dalam karton dengan merek dagang Kokuta dan dipatok dengan harga Rp 7.000 per kilogram. Di negeri Sakura, gula tersebut diolah sebagai bahan pembuatan syrup, cuka, dan alkohol.
Selain Indonesia, produk serupa yang membanjiri pasar Jepang adalah Bolivia, Cina, Korea, Brazil, dan India. “Mereka juga berebut pasar yang sama hingga permintaan dari Indonesia menurun,” ujar Rubai.
Musim hujan yang berkepanjangan memicu rendahnya rendemen gula. Hal ini secara langsung berdampak pada kualitas gula yang diproduksi Rubai, menyusul turut melambungnya biaya produksi.
Salah satunya adalah tingginya ongkos pembakaran air tebu hingga lima kali lipat. Jika sebelumnya ongkos kayu bakar untuk memasak enam kwintal air Rp 10 ribu, saat ini meningkat hingga Rp 50 ribu. Tingginya kadar air tebu membutuhkan proses perebusan yang lama.
Akibat kondisi ini Rubai terpaksa melakukan sejumlah efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Dari 24 orang, saat ini tinggal 16 orang. “Kami benar-benar membutuhkan bantuan pemerintah untuk menyelamatkan usaha ini,” ucapnya. HARI TRI WASONO.