TEMPO Interaktif, Denpasar - Nama Bali yang sudah terkenal di seluruh dunia belum bisa dimanfaatkan untuk mempopulerkan merek produk Bali di pasar internasional.
Hal itu terlihat dari masih kecilnya produk Bali yang bisa memasuki pasar internasional. "Hanya 0,5 - 0,7 persen dari keseluruhan ekspor nasional," kata Kepala Bank Indonesia Denpasar Jeffrey Kairupan, Selasa (9/11) dalam seminar Penguatan Daya Saing Ekspor Bali.
Pada Januari-Agustus 2010, ekspor Bali tumbuh 22,95 persen dengan nilai US$ 461,3 juta. Angka itu lebih besar dibanding periode yang sama pada saat terjadinya krisis 2008 yang hanya US$ 388,5 juta.
Lima negara terbesar tujuan ekspor adalah Amerika Serikat, Jepang, Australia, Singapura, dan Hongkong. Komoditas unggulan Bali antara lain adalah pakaian jadi (17,4 persen), ikan tongkol dan tuna (13,6 persen), kayu olahan (11 persen) dan barang dari logam mulia (10,3 persen).
Pada saat krisis 2008, Pakaian jadi dan kayu olahan tumbuh negatif tetapi ekspor ikan tetap stabil. "Sekarang ini semua sedang berada dalam masa pemulihan," ujar Kairupan.
Kairupan menyebutkan, ekspor terhambat karena belum adanya pelabuhan ekspor, sehingga pengiriman harus dilakukan melalui Surabaya. Di lapangan juga banyak terdapat hambatan tarif yang ditetapkan negara-negara tujuan .
Birokrasi perizinan membuat proses ekspor menjadi mahal dan produknya kehilangan daya saing. Masalah itu harus mendapat perhatian khusus karena ekspor nonmigas menyumbang 25 persen pendapatan asli daerah.
"Ekspor juga membuka peluang kerja," tuturnya. Direktur Ekspor Dirjen Perdagangan Luar Negeri Albert Yusuf Tobogu menekankan, penting bagi pengusaha Bali mulai mengurus hak paten atas kreativitas mereka.
Seperti kain Uluwatu yang berwarna putih dari bahan linen harus segera dipatenkan sebelum diproduksi di negara lain. Di sisi lain, menurutnya, harus ada pencermatan terhadap produk indonesia agar kualitasnya tetap terjaga.
ROFIQI HASAN