Abdul mengatakan, lokasi penambangan tersebut merupakan bekas tempat pengolahan tambang yang resmi oleh salah satu perusahaan. Tapi lokasi itu sudah ditinggalkan, karena kondisi tanah sudah dalam. Dia menjelaskan, jika masyarakat tetap memaksa mengerok tanahnya, dikhawatirkan rawan longsor. ”Itulah sebabnya, kami larang,” ujarnya.
Abdul berjanji memberikan bibit ikan kepada masyarakat penambang. Pemberian bibit ini, kata dia, agar masyarakat tak lagi melakukan penambangan yang bisa merusak lingkungan. Tapi, mereka akan memanfaatkan air yang ada di kolam-kolam bekas penambangan tersebut untuk memelihara ikan.
Daeng Tayang, salah satu penambang, mengatakan tidak ada lagi pekerjaan lain selain menambang pasir. Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang sudah berkali-kali menjanjikan bibit ikan. Tapi hingga kini bibit tersebut tidak pernah direalisasikan. "Kami mau makan apa, kalau tidak menambang?”ujarnya.
Tayang menuturkan bisa menambang sampai dengan lima rit mobil truk. Dalam setiap ritnya seharga Rp 50 ribu. Jadi, kata Tayang, dalam sehari bisa mendapatkan uang Rp 150 ribu setelah dipotong ongkos dan bensin. "Saya sudah bisa membiayai dua anak sekolah," ujarnya.
Alimuddin, warga penambang lainnya, berkukuh menambang. Sebab, sumber kehidupan keluarganya. "Di mana kami dapat makan, kalau tidak menambang?" ujarnya. Lagipula, kata dia, mayoritas masyarakat di Desa Bontoramba bekerja sebagai penambang pasir. ”Kami minta pemerintah untuk bijaksana masyarakat. Lagi pula tanah tempat menambang milik masyarakat sendiri," ujarnya.
Kepala Bidang Pertambangan Umum Mirian Trisno mengatakan, kegiatan penambangan liar ini mengancam kerusakan lingkungan. Sebab, kondisi tanahnya sudah rawan longsor dan banjir. "Penambangan ilegal ini harus benar-benar dihentikan. Ini untuk keselamatan masyarakat juga," katanya.
Masyarakat yang kembali menambang, Trisno menegaskan akan ditangkap dan diproses hukum. "Kami harap mereka mematuhi larangan untuk tidak lagi melakukan penambangan," ujarnya.
SAHRUL