Sebab itu, ia mendesak pemerintah mengembangkan cluster pengembangan komoditas hortikultura, yang nantinya memiliki gudang penyimpanan hasil panen. Apalagi untuk bersaing di pasar internasional produk Indonesia masih menghadapi kendala kualitas dan kontinuitas.
Padahal peluang masuk pasar internasional cukup besar. Misalnya di Singapura, justru yang banyak masuk bukan produk hortikultura Indonesia, tapi negara lain yang lokasinya jauh dari Singapura. Kendala lain, harga produk hortikultura dari Indonesia lebih mahal.
"Ini karena produktivitas tanaman sangat rendah akibat kualitas benih yang juga rendah," ujar Benny di Gedung Arsip Kementerian Pertanian, Jakarta, Jumat (10/12). Sementara untuk pengembangan benih justru pemerintah menghambat dengan melarang impor benih. Contohnya, kata dia, untuk komoditas kentang.
Ketika swasta ingin mengimpor benih kentang dari Belanda, pemerintah melarang dengan alasan ada penyakit. Sedangkan kualitas benih kentang dalam negeri masih rendah. Produktivitas tanaman kentang hanya hanya 15 ton per hektare, jauh di bawah Pakistan
dan Belanda yang mencapai 50 ton per hektare.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dalam mendorong peningkatan produksi hortikultura adalah modal untuk petani. Meski pemerintah menyiapkan skim kredit seperti kredit usaha rakyat dan kredit ketahanan pangan dan energi, tapi petani tetap kesulitan mengakses kredit. "Padahal dalam skim pembiayaan itu pemerintah memberikan subsidi bunga kredit," kata Benny.
ROSALINA