Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono mengakui dua jalan layang non-tol yang sedang dibangun di ruas Cipete-Blok M (Jalan Antasari) dan Kampung Melayu-Tanah Abang (Jalan Casablanca) tidak akan berpengaruh dalam mengurai kemacetan di Jakarta. Pembangunan dilakukan karena rasio jalan di kota ini dinilai masih rendah. “Hanya 6,3 persen, padahal rasio jalan seharusnya berada di angka 10 persen,” katanya kemarin.
Udar menanggapi keraguan yang kembali diungkapkan oleh Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa terhadap efektivitas dua ruas jalan layang non-tol itu. Keraguan yang sama juga pernah diungkapkan oleh sejumlah pakar dan pengamat tata kota.
Royke kemarin kembali menekankan bahwa jalan layang adalah solusi jangka pendek karena malah bisa merangsang masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. “Pemerintah DKI seharusnya mempertimbangkan solusi ini dengan matang supaya tidak menjadi bumerang dan malah menambah kemacetan,” katanya kemarin.
Khusus di ruas Jalan Prof Dr Satrio atau Casablanca, umur fluiditas arus kendaraan gara-gara adanya jalan layang itu bahkan bisa lebih singkat dari lima tahun. Dia menunjuk pusat belanja baru yang sedang dibangun di kawasan itu, yaitu Superblok Ciputra dan Kuningan City. “Tentu volume kendaraan ke sana semakin bertambah.”
Menurut Royke, solusi kemacetan Ibu Kota hanyalah peremajaan angkutan umum dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Saat ini, dia mengatakan, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 12 juta unit. Dari jumlah itu, 8 juta adalah sepeda motor.
Udar Pristono mengakui tingginya “populasi” itu, dan hanya pembenahan angkutan massal serta pembatasan kendaraan pribadi yang dilakukan secara konsisten yang bisa melawannya. “Tapi kan kami melakukan strategi-strategi itu juga,” katanya sambil menambahkan pembangunan jalan adalah satu dari tiga strategi yang akan dijalankan secara sinergis.
Strategi pertama tentang pembenahan angkutan massal dilakukan di antaranya dengan menambah rute dan armada bus Transjakarta serta mengoperasikan mass rapid transit. Strategi kedua, pembatasan kendaraan pribadi, misalnya lewat rencana penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP).
RATNANING ASIH | PUTI NOVIYANDA | WURAGIL
Iklan
