Ia menuturkan, Serikat Petani Indonesia telah menganalisis ada sekitar 23 beleid yang berkaitan dengan petani, namun tak satu pun yang memperkuat petani gurem atau buruh tani. Peraturan-peraturan itu malah meliberalisasi pertanian sembari menggelar karpet merah bagi korporasi besar.
"Korbannya telah bermunculan," kata Eva. Antara lain, 12 petani di Kediri, Jawa Timur, yang masuk penjara akibat mengembangkan bibit. Mereka terjerat Undang-undang Pengembangan Budidaya Tanaman, yang disebut Eva, membuat budidaya bibit dimonopoli perusahaan. Pasalnya, bibit harus diuji di laboratorium.
Selain itu, ada pula sejumlah undang-undang di bidang energi yang disahkan selepas reformasi 1998. Beleid-beleid itu menyebabkan Indonesia tak punya kedaulatan energi. "Sekitar 70 persen energi kita sekarang dikuasai asing, kita bodoh-bodoh saja membuat undang-undang yang merugikan," ucapnya.
Begitu juga dengan undang-undang perdagangan yang dinilai tak memperkuat kedaulatan Indonesia. Hal itu terlihat, antar a lain, dengan tidak adanya perlindungan sama sekali terhadap pasar tradisional. Padahal, negara neoliberal seperti Korea Selatan saja membatasi pasar modern cuma boleh mengambil 2,5 persen dari pangsa pasar nasional.
Belum lagi paket Undang-undang Keuangan, termasuk undang-undang di sektor perbankan, yang sangat memudahkan bank asing beroperasi di Indonesia. Hal itu berbeda dengan peraturan di Malaysia yang secara internal melindungi perbankannya dengan sederet diskresi.
"Ini problem integritas bangsa karena tidak pernah menggunakan konstitusi sebagai panduan," kata Eva. Akibatnya, ia menegaskan, "Kita tidak menjadi tuan di bangsa sendiri, tapi malah menjadi kuli bangsa-bangsa lain."
BUNGA MANGGIASIH