Achmad Rubai, pengusaha gula merah di Desa Slumbung, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, mengatakan aktivitas ekspor ke Jepang mulai tak jelas usai terjadinya gempa bumi yang disusul oleh tsunami yang meluluhlantakkan negeri itu.
Importir Jepang meminta penghentian kiriman gula merah hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan. “Pengiriman berhenti total,” kata Rubai kepada Tempo di Kediri, Selasa (15/3).
Selama ini usaha pembuatan gula merah milik Rubai untuk memenuhi kebutuhan industri di Negeri Sakura. Gula merah yang dikemas dalam karton berbobot 30 kilogram bermerek Kokuta itu diolah sebagai bahan pembuatan sirup, cuka, dan alkohol.
Setiap kilogram gula merah dibanderol dengan harga Rp 7.000 atau Rp 21.000 untuk satu kemasan karton. Dalam situasi normal, Rubai yang mempekerjakan sekitar 28 karyawan, mampu mengirimkan 244,8 ton gula merah dalam enam bulan.
Namun sejak akhir 2010 permintaan dari Jepang terus merosot hingga 122,4 ton. Sebab selain Indonesia, produk tersebut harus bersaing dengan negara lain, seperti Bolivia, Cina, Korea Selatan, Brasil, dan India. “Kini justru berhenti sama sekali,” ujar Rubai.
Untuk menjaga kelangsungan usahanya, Rubai terpaksa mengalihkan produksi untuk kebutuhan lokal. Dibuat dengan kualitas dan kemasan yang lebih rendah, gula merah tersebut dikirim ke sejumlah pedagang di sekitar Kediri.
Hal ini, menurut Rubai, berdampak pada pendapatan karyawan secara langsung. Sebab upah pembuatan gula ekspor lebih tinggi dibandingkan gula lokal. Para pekerja dibayar Rp 26 ribu untuk satu kwintal gula lokal dan Rp 28 ribu untuk satu kuintal gula ekspor.
Pengalihan usaha ke produk lokal itu, kata Rubai, cukup efektif untuk menghindari pemutusan hubungan kerja. Sebab selama ini usaha tersebut bergantung pada kegiatan ekspor yang sudah berjalan selama bertahun-tahun.
HARI TRI WASONO