Menurutnya, kasus mafia pajak Gayus Tambunan dan isu pergantian kabinet membuat ketidakpastian dunia usaha. Semua pihak menjadi repot mengurusi persoalan tersebut dan mengabaikan pertumbuhan ekonomi. “Terlalu banyak waktu yang habis untuk politik,” tambahnya.
Dia mengatakan, ada yang salah dalam pengelolaan Indonesia selama ini. Salah satunya anggaran pemerintah lebih banyak untuk belanja rutin dan membayar utang, daripada untuk pembangunan infrastruktur. “80 persen dari seluruh anggaran untuk belanja rutin, sedangkan untuk pembangunan cuma 9-10 persen,” ujarnya. Ini membuat perekonomian seperti jalan di tempat.
Selama sepuluh tahun terakhir, kata dia, pemerintah lebih senang menjual kekayaan alam seperti batu bara dan kelapa sawit ke luar negeri, daripada menggenjot pertumbuhan industri. Padahal industrilah yang sejatinya mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Industri akan memberikan nilai tambah suatu produk. Jika terus menerus mengekspor bahan mentah, suatu saat akan habis,” tegasnya. Pemerintah juga tidak melindungi industri dalam negeri dengan memperbanyak impor barang jadi.
Karena itu, Sofyan meminta pemerintah belajar dari Cina, yang mendasarkan ekonominya pada kekuatan industri. Salah satunya dengan mencetak 500 ribu teknisi atau tenaga profesional tiap tahunnya. “Sementara kita, lebih banyak mencetak calon politisi,” ujarnya seraya menyebut jumlah calon politisi pada pemilu legislatif 2009 lebih banyak daripada jumlah pengusaha. Saat itu calon politisi 500 ribuan, sementara pengusaha hanya 400 ribuan.
Dari kondisi itu, Sofyan mengharapkan perguruan tinggi lebih banyak lagi mencetak calon wiraswasta. Dalam forum yang sama, Pembantu Rektor I UNS Ravik Karsidi mendukung pernyataan Sofyan. Menurutnya, mahasiswa tidak hanya disiapkan sebagai pegawai, tapi juga wirausaha.
“Di UNS sudah ada mata kuliah kewirausahaan. Diharapkan memberikan gambaran kepada mahasiswa bahwa setelah lulus tidak harus menjadi pegawai atau karyawan kantor,” ucapnya.
UKKY PRIMARTANTYO