TEMPO Interaktif, Jakarta - Berbagai koleksi itu dipajang di berbagai ruang museum. Nama-nama ruang itu di antaranya ruang Majapahit, ruang kolam Nandiswara, ruang Imari Jepang, ruang Dinasti Ming, ruang Cirebon, ruang Kaisar Wilhelm II, ruang Dewi Sri, ruang Dinasti Tang, ruang Pra-sejarah, serta ruang-ruang lainnya.
Di ruang Pra-sejarah, untuk menyebut contoh, terdapat 179 koleksi. Di ruang ini tersimpan berbagai tembikar dari masa neolitik Cina. Ada yang dari millenium ke-2 Sebelum Masehi (SM), maupun tembikar dari Dinasti Han abad ke-1 SM. Di sini juga tersimpan topeng kayu mumi dari Mesir abad ke-7 SM. Dua topeng kayu mumi ini ditemukan dari dua kuburan yang berbeda di Negeri Firaun tersebut. Ada juga Arca Shabti asal Mesir. Dalam kepercayaan Mesir Kuno, Shabti berfungsi sebagai pelayan orang di kehidupan berikutnya. Arca dari batu ini dibuat pada tahun 664 SM. Yang tak kalah menariknya, di ruang Pra-sejarah ini juga tersimpan patung marmer putih Julius Caesar dan arca marmer putih Isis, istri Dewa Osiris dalam mitologi Romawi. Kedua patung marmer ini dibuat pada abad ke-19 oleh seniman Italia.
Ruang dengan koleksi terbanyak adalah ruang Kaisar Wilhelm II. Di sini terdapat 547 koleksi, termasuk 72 miniatur perak Belanda, yatagon perak dari Turki, arca perunggu Maitreya dari Jawa Tengah abad ke-9, seta ujung panah serta kapak genggang dan pisau Adze dari Meksiko abad ke-3 SM. Ruang ini dinamakan ruang Kaisar Wilhelm II karena begitu memasuki ruang, lukisan cat minyak dengan ukuran besar dari Kaisar Wilhelm II terlihat langsung di dinding timur. Lukisan ini adalah pemberian sang Kaisar pada Gubernur Bank Sentral Prusia sewaktu sang bankir mengakhiri jabatannya setelah 50 tahun mengabdi pada kerajaan.
Selama bertahun-tahun berbagai arca, antefak, tembikar, patung terakota, patung logam, gerabah, porselen, dan benda bersejarah lainnya itu menjadi koleksi pribadi Sjahrial dan dinikmati secara terbatas. Namun, kesadaran akan sejarah dan peradaban ingin ia tularkan pada masyarakat luas. “Supaya masyarakat juga tahu sejarah dan peradaban,” ujarnya. Maka pada September 2010, dia membuka koleksi-koleksinya itu untuk umum melalui Museum di Tengah Kebun. Masyarakat bisa menikmati gratis tanpa dipungut biaya. Sejak dibuka utntuk umum, pengunjung yang datang telah lebih dari 1.500 orang.
Sebagai museum pribadi, Sjahrial membiayai sendiri museumnya. Dia mengungkapkan, dalam sebulan biaya perawatan dan pengamanan museum tidak cukup Rp 30 juta. Selain dilengkapi dengan kamera, alarm, dan alat keamanan lainnya, museum juga dikelola oleh 11 orang karyawan.
Museum dibuka pada hari Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu. Pada hari lainnya, museum ditutup untuk perawatan dan penelitian. Setiap kunjungan dibatasi 7-10 orang. Setiap kelompok pengunjung akan dipandu dengan seorang pemandu yang akan memberikan penjelasan terperinci tentang objek yang dipamerkan, baik dalam bahasa Indonesia dan atau Inggris. Tertarik mengunjungi Museum di Tengah Kebun? Reservasi kunjungan bisa dilakukan di http://www.museumditengahkebun.org/.
AMIRULLAH