TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah Australia belum memutuskan untuk membuka keran ekspor sapi ke Indonesia. Kebijakan itu akan ditentukan setelah kedua negara menurunkan tim bersama untuk menginvestigasi dugaan penyiksaan sapi di sejumlah rumah pemotongan hewan.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Pertanian Suswono setelah bertemu dengan Duta Besar Australia Greg Moriarty. "Sebelum turun ke lapangan, kami harus membuat dulu standar bersama tentang kesejahteraan hewan," kata Suswono di Kementerian Pertanian, Selasa, 14 Juni 2011.
Australia menangguhkan ekspor sapi hidup ke Indonesia selama enam bulan sejak Rabu pekan lalu. Kebijakan itu diambil setelah muncul tayangan stasiun televisi ABC News mengenai penganiayaan sapi sebelum disembelih di sejumlah rumah jagal di Tanah Air.
Suswono mengatakan penyusunan standar bersama cukup penting. Lagi pula aturan yang ditetapkan Australia belum diakui Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE). Adapun standar Indonesia mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Rumah Potong dan Penanganan Daging.
Kementerian khawatir, bila saat investigasi pemerintah menuruti standar Australia, bakal muncul masalah baru. Dalam perumusan standar baru nanti, Suswono berjanji mengundang berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia. "Kami punya budaya penyembelihan sesuai agama."
Namun sejatinya pernyataan Suswono itu bertolak belakang dengan keterangan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi setelah bertemu dengan Wakil Menteri Pertanian Australia Philip Glyde, Senin lalu. Bayu menjelaskan, Australia akan mencabut penangguhan ekspor sapi hidup dalam 2-3 minggu ke depan.
Ihwal kisruh penangguhan ekspor sapi Australia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) enggan ikut campur. WTO pada dasarnya tidak bisa mempengaruhi keputusan suatu negara untuk melakukan pembatasan dalam perdagangan. "Jika ada masalah, kedua negara bisa saling konsultasi," kata Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy.
Lamy menjelaskan, suatu negara boleh saja melakukan pembatasan dalam aktivitas ekspor dan impor. Pembatasan akan menjadi jadi masalah bergantung pada dampak yang terjadi. Bila suatu negara merasa diperlakukan tidak adil, dapat mengajukan kepada sistem penyelesaian persengketaan.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Gusmardi Bustami mengakui, secara prosedur tak ada larangan menunda ekspor sapi dengan alasan kesejahteraan hewan. "Dalam General Agreement on Tariffs & Trade (GATT), hal itu tak disebut. Bisa diartikan alasan kesejahteraan diperbolehkan."
Pasal 20 dalam GATT menyatakan, pembatasan perdagangan boleh dilakukan dengan alasan kepentingan umum, kesehatan, dan keamanan, bukan alasan diskriminasi. Sementara itu, pada pasal 21, pengendalian perdagangan diperbolehkan dengan alasan kepentingan umum.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menambahkan, yang dibutuhkan oleh kedua negara adalah koordinasi untuk saling memahami standar bersama. "Kami pun minta Australia memberlakukan standar yang sama pada negara tujuan ekspornya yang lain."
EKA UTAMI APRILIA | TRI SUHARMAN | BOBBY CHANDRA