TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Perhubungan, Freddy Numberi, mengatakan Indonesia dan pihak PTTEP Australasia belum mencapai kesepakatan soal besaran ganti rugi yang akan diberikan atas tumpahan minyak di Laut Timor. Hingga saat ini Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan adanya nota kesepakatan soal pembayaran ganti rugi untuk negosiasi lanjutan. Hal ini dilakukan setelah beberapa kali negosiasi gagal.
Rencananya tanggal 29 Juni ini akan ditandatangani nota kesepahaman antara kedua belah pihak. "Setelah itu masuk tahap negoisasi," kata Freddy di Istana Presiden, Kamis 23 Juni 2011.
Sebelumnya, pada 21 Agustus 2009 ladang minyak Montara meledak dan minyak mentah yang diproduksinya tumpah sehingga menimbulkan pencemaran perairan Indonesia di Laut Timor. Ekosistem 14 desa di Pulau Rote dan delapan desa Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kupang pun rusak dibuatnya. Diperkirakan tumpahan mencapai 400 barel per hari dengan luas tumpahan minyak 28.663, 10 kilometer persegi. Pemerintah mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP Australasia sebesar Rp 23,2 triliun.
Pihak yang bersengketa ini akan membentuk tim, terdiri dari perwakilan PTT Exploration dan Production Australasia. Tim akan memfasilitasi jika ada perbedaan pendapatan dan sengketa. Indonesia mengajukan Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. Thailand mengajukan mantan Menteri Luar Negeri Thailand.
Nota kesepakatan itu akan memuat dua poin, yaitu mengenai klaim Coorporate Social Responsibility (CSR) yang harus dibayar, yakni US$3 juta. Hal ini berkurang dari US$ 5 juta menjadi US$ 3 juta turun setelah negoisasi. Kedua, soal ganti rugi yang harus dibayar sebesar Rp 23,27 triliun.
Namun, ganti rugi ini, Freddy mengatakan, masih ada kendala. Alasan masih belum ada kesepakatan mengenai angka nominal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pandangan dari para pakar lingkungan PTT Exploration yang menyebutkan dampak lingkungan itu hanya berlangsung selama lima tahun. Sementara pakar Indonesia menyatakan dampaknya bisa berlanjut hingga 15 tahun. "Kita minta 15 tahun pemulihan. Mereka mengatakan lima tahun pulih. Kita minta kepastian berapa nilainya dan hitungannya bagaimana," katanya.
EKO ARI WIBOWO