TEMPO Interaktif, Denpasar - Selain menjadi pusat pariwisata, Bali juga diduga sebagai salah-satu pusat perdagangan kera dan monyet. Binatang jenis primata itu dibawa ke Bali untuk dijual kembali ke luar negeri atau dikonsumsi dagingnya.
Kondisi itu mendorong LSM ProFauna melakukan aksi unjuk rasa di Monumen Badjra Sandhi, Denpasar, Minggu 3 Juli 2011. “Kami ingin meminta perhatian masyarakat Bali karena primata sudah terancam punah,” kata Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nurwahid.
Dalam aksinya, sejumlah aktivis mengenakan topeng berbagai jenis primata dan membawa poster binatang-binatang itu. Ada juga yang dimasukkan ke dalam kandang dan bertingkah layaknya kera. Mereka juga membawa spanduk dan poster yang antara lain bertulisan, “Stop Perdagangan Primata” dan “Kami Bukan untuk Diperjualbelikan”.
Adapun di Bali, menurut Rosek, jenis yang paling tinggi diperdagangkan adalah lutung jawa (Trachipithecus auratus) yang termasuk jenis satwa dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam. Setiap bulannya ditaksir 200 hingga 500 ekor lutung dimasukkan ke Bali dari pemasok di Jawa Timur. Lutung diambil dari Taman Nasional Baluran di Banyuwangi dan Meru Betiri.
Dari penelusuran ProFauna, Lutung itu dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi. “Itu pengakuan dari pemasok yang pernah ditangkap di penyeberangan Ketapang,” ujarnya. Namun, sampai saat ini belum jelas benar pola penjualannya karena tidak ada restoran ataupun rumah makan yang menyediakan menu daging lutung.
Diduga, penjualan daging dilakukan secara tertutup, hanya oleh komunitas tertentu. “Sama dengan pola penjualan daging penyu,” ujarnya. Daging primata itu sering diyakini dapat menjadi obat untuk penyakit asma.
Selalin lutung, jenis primata lain yang diperdagangkan adalah kukang, owa, dan orangutan. Harganya bervariasi, tergantung pada tingkat kelangkaannya. Lutung jawa, misalnya, harganya rata-rata Rp 200 ribu, kuang Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu, owa Rp 1 juta, dan orangutan Rp 2 juta.
Di dunia ini terdapat 200 jenis primata yang 25 persen di antaranya hidup di Indonesia. Namun, 70 persen yang hidup di Indonesia itu kini terancam punah karena perburuan dan perdagangan liar. Undang-undang menyebutkan, pelaku perdagangan satwa yang dilindungi terancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
ROFIQI HASAN