TEMPO Interaktif, Jenewa - Lebih dari sebulan kabut asap pekat tak juga sirna dari Palangkaraya. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah berulang kali meminta pemerintah pusat mengadakan hujan buatan untuk mengatasi cuaca panas serta kebakaran hutan dan lahan di kawasan itu.
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang menyatakan pada awal Agustus lalu saja pemerintah daerah sudah tiga kali mengajukan permintaan, tapi belum ada tanggapan. "Kalimantan Tengah perlu hujan buatan untuk mengurangi panas yang terjadi sekarang ini," katanya.
Awal September lalu, pemerintah pusat akhirnya memberi sinyal positif. Hujan buatan yang dinanti warga Kalimantan Tengah itu akan turun dalam beberapa waktu mendatang. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ditunjuk untuk menyemai hujan dengan menggunakan pesawat Cassa 212.
Ada berbagai teknik untuk menyemai hujan, termasuk flare yang menggunakan generator guna menghasilkan bahan semai untuk modifikasi awan, seperti yang tengah diteliti BPPT. Flare, yang terbuat dari campuran zat kimia piroteknik, itu biasanya dipasang di pesawat dan dibawa terbang hingga ke awan.
Namun kini para ilmuwan di Swiss menemukan satu cara lagi untuk menciptakan hujan buatan, yaitu menggunakan sinar laser. Temuan ini dapat membuat kawasan kering dan tandus di berbagai belahan dunia memperoleh sedikit kelembapan.
Awan hujan terbentuk ketika kantong partikel kecil di udara mengkondensasi uap air di sekelilingnya. Dengan cukup bibit hujan seperti itu, terbentuklah awan dan akhirnya menimbulkan hujan.
Ada beberapa teknik untuk mengendalikan hujan dengan menebarkan partikel halus senyawa seperti es kering dan perak iodida di atmosfer, sehingga membuat butiran hujan terbentuk di sekitarnya. "Namun banyak orang mulai skeptis terhadap teknik modifikasi cuaca seperti itu," kata Jerome Kasparian, fisikawan di University of Geneva.
Kontroversi ini muncul menyangkut efektivitas penebaran benih awan semacam itu. Dalam teknik itu, bahan kimia ditebarkan di daerah yang sangat luas, sehingga dengan variabilitas di atmosfer akan sangat sulit memperkirakan bagaimana es kering atau perak iodida mempengaruhi atmosfer.
Sebagai alternatif teknik lama tersebut, Kasparian dan koleganya kini mengungkap cara anyar untuk mengendalikan uap air dengan menggunakan sinar laser. Dalam eksperimen dengan laser inframerah di atas Sungai Rhone di Jenewa, dengan mempertimbangkan beragam temperatur, kadar kelembapan, dan kondisi atmosfer lainnya, tim peneliti itu menemukan bahwa laser dapat memicu pertumbuhan butiran air berukuran mikron pada kelembapan yang lumayan rendah, hanya 70 persen.
Namun butiran air yang terbentuk tidak cukup besar untuk jatuh sebagai hujan.
"Pada tingkat kelembapan rendah seperti itu, kondensasi tidak terjadi dalam kondisi alami," kata Kasparian. "Setidaknya diperlukan kelembapan relatif 100 persen."
Dalam jurnal Nature diungkapkan, rahasia sinar laser ini terletak pada bagaimana laser mengubah zat kimia seperti asam nitrit, yang bertindak sebagai benih hujan, terbentuk di udara. Partikel ini cenderung berasosiasi dengan molekul air, bekerja seperti semacam perekat yang menjaga butiran air tetap dalam kondisi yang cukup kering. Hal ini biasanya menyebabkan butiran air berevaporasi atau menguap.
Berbeda dengan teknik hujan buatan lain yang lokasi jatuhnya hujan tidak dapat dipastikan, para peneliti dapat mengarahkan lasernya pada target terkendali dan pada waktu yang diinginkan pula. Ini menunjukkan efektivitas laser dalam mengendalikan kelembapan, berbeda dengan teknik modifikasi cuaca yang ada saat ini.
"Tapi teknik baru itu belum bisa diimplementasikan untuk membuat hujan dalam waktu dekat ini," kata Kasparian. "Laser memang bisa menciptakan partikel berair dan membuatnya tumbuh, tapi ukurannya terbatas hanya beberapa mikro. Perlu partikel berukuran 10 hingga 100 kali lipat lebih besar untuk menghasilkan hujan yang sesungguhnya."
Teknik hujan buatan menggunakan sistem laser ini tidak membutuhkan pesawat terbang. "Tipe laser yang kami gunakan dapat menjangkau hingga beberapa kilometer, sehingga atmosfer dapat diaktifkan menggunakan laser yang ditembakkan dari bumi," ujarnya.
Kasparian menyatakan teknik laser tidak perlu digabungkan dengan teknik pembenihan hujan lain. "Memproduksi partikel terlalu banyak justru berisiko menggagalkan terjadinya hujan karena partikel-partikel itu akan saling bersaing untuk mengkondensasi kelembapan yang tersedia di atmosfer," ujarnya. "Kompetisi itu menyebabkan setiap butiran air tak bisa membesar dan diameternya tetap kecil, tidak cukup untuk menjadi tetes hujan yang akan jatuh ke bumi."
Satu-satunya persoalan tentang pengendalian cuaca semacam ini adalah kemungkinan laser mencuri kelembapan yang seharusnya mengarah ke tempat lain yang membutuhkannya. "Sebenarnya laser hanya dapat mengkondensasi kelembapan dari udara dalam jumlah terbatas, sehingga risiko suatu negara merebut semua sumber dari massa udara tidak seserius apa yang terjadi dengan air permukaan," kata Kasparian. "Secara teknis, suatu negara dapat memompa air sungai hingga habis sebelum sungai itu menyeberangi perbatasan."
TJANDRA DEWI | KARANA WW | LIVESCIENCE | BPPT