TEMPO Interaktif, Jakarta - Dua kasus kejahatan pemerkosaan terkini terhadap mahasiswi dan keryawati di dalam angkutan kota (angkot)--satu diantaranya berujung pada pembunuhan--terbukti melibatkan para sopir tembak. Keberadaan mereka langsung jadi sorotan. Mereka jadi obyek razia yang segera digelar petugas kepolisian dan Dinas Perhubungan.
Tapi, tak semua rupanya menyalahkan sopir tembak. Para sopir yang resmi malah berharap profesi sopir cadangan untuk armada yang mereka operasikan itu jangan sampai dihilangkan. "Kalau sopir tembak dilarang, kami bisa susah," kata sopir Mikrolet 01 jurusan Kampung Melayu-Senen, Pardede, Ahad 18 September 2011.
Sopir berusia 30 tahun ini mengeluh kalau dirinya bakal sangat kelelahan jika tak ada sopir tembak. “Capek narik seharian, nggak kuat kami,” katanya.
Selama ini, Pardede berbagi tanggungjawab atas satu mobil angkutan dengan satu sopir lainnya. Masing-masing 'narik' selama setengah hari untuk mengejar setoran sebesar Rp 150-200 ribu.
Menurut Pardede, selama sopir tembak dikenal baik oleh sopir resmi, tak ada masalah. "Yang punya juga biasanya kenal jadi tidak melarang," kata dia.
Hal serupa diungkapkan Doni, sopir angkutan kota nomor 28, yang melayani trayek Kampung Melayu-Cililitan-Pondok Gede. Pria berusia 29 tahun itu mengaku hanya memberi izin mobilnya dibawa sopir tembak yang sudah dikenal baik.
Doni tak setuju jika sopir tembak dilarang beroperasi. "Memangnya kami robot, kami juga ada capeknya," ujarnya ketus sambil menambahkan, “Walau pakai sopir tembak, tanggungjawabnya kan tetap di kami.”
MARTHA THERTINA