TEMPO Interaktif, Makassar - Suasana hening, tidak terdengar suara, kecuali teriakan para anggota pasukan khusus Belanda, Depot Speciale Troepen (DST), yang membentak warga yang telah dikumpulkan dari sejumlah desa di Kecamatan Suppa, Pinrang. Mereka sebelumnya ditarik paksa dari rumah untuk kemudian dikumpulkan di salah satu rumah, yang sekarang berada di depan kantor Kecamatan Suppa.
"Suasana mencekam, banyak warga yang gemetar ketakutan, ada yang berpelukan sesama sanak kerabatnya menunggu nama mereka disebut oleh Belanda sesuai dengan nomor urut yang ada di kertas yang dipegang oleh pasukan Westerling itu," kata Letnan Akil, Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Pinrang, dengan mata yang sembap.
Akil, 76 tahun, adalah salah seorang saksi hidup dari korban keganasan De Turk (panggilan Westerling) di peristiwa berdarah 11 Desember 1946 itu. Ia adalah putra Ambo Siraja, Komandan Batalion 2 Ganggawa--orang yang paling dicari oleh pasukan Belanda itu.
"Satu per satu warga itu dipanggil dan ditanya tentang keberadaan Ambo Siraja. Bila tidak tahu, mereka ditembak," ujar Akil, yang saat itu masih berusia belasan tahun.
Menurut dia, pasukan Belanda sungguh keterlaluan. Ada korban yang menjawab tidak tahu keberadaan Ambo, lalu disuruh memanjat pohon kelapa dan setelah sampai pucuk, diberondong tembakan. “Yang menjadi korban pada peristiwa itu sebanyak 224 orang, yang dieksekusi hingga pukul 16.00 dan dikubur pada 3 lubang yang telah disiapkan,” ucapnya.
Baca Juga:
Yang membuat Akil terharu, tak seorang pun warga, yang dieksekusi pada saat itu, mau membuka mulut dan memberi tahu tentang keberadaan Ambo dan kerabatnya. Padahal di tengah kerumunan warga yang dikumpulkan itu, terdapat istri Ambo, I Mole, dan Akil sendiri.
“Semua yang menjadi korban adalah warga biasa yang tidak mengerti apa-apa. Hanya ada beberapa tokoh yang ikut menjadi korban, di antaranya Andi Monjong dan Andi Wenda Dg Pagoli.”
Saat kejadian itu, Ambo Siraja bersama pasukannya, yang terdiri atas 100-an orang, berada di gunung antara Lappa Lappae dan Aliita, sekitar 10 kilometer dari tempat kejadian. "Ambo Siraja tahu peristiwa ini, tapi tidak berdaya menghadapinya karena persenjataan sangat minim,” kata Akil, yang menjadi tentara pada 1957 dengan pangkat sersan mayor.
Pasukan Ambo Siraja kemudian melakukan penghadangan di daerah La Sikko Lappa Lappae. "Banyak korban saat itu karena pasukan Ambo Siraja tidak mau mundur,” ceritanya.
SUARDI GATTANG