TEMPO Interaktif, Jakarta - Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dinilai menjadi biang masalah energi, khususnya energi terbarukan (renewable energy). Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kardaya Warnika, pengembangan energi baru sulit karena konsumen lebih memilih bahan bakar yang murah atau disubsidi.
“Maka pengembangan pasar energi terbarukan tak berkembang,” katanya, Sabtu, 24 September 2011.
Juru bicara Pertamina Mochamad Harun menilai kondisi ini juga memukul pengembangan bahan bakar gas (BBG). Pertamina, pada 1992 pernah punya 33 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), namun jumlahnya susut menjadi hanya 8 unit saat ini.
SPBG tak bisa ditambah jika tak ada pembelinya. “Akarnya, ya subsidi BBM,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Walhasil,penggunaan gas tak bisa berkembang dan konsumen beralih ke BBM.
Ia menilai penggunaan BBG untuk transportasi massal perlu didorong. Jika bisa dikembangkan, maka sektor lain bisa mengikuti.
Menurut Harun, masyarakat bisa menyiapkan diri menggunakan BBG. Hal ini berkaca dari konversi energi minyak tanah ke gas 3 kilogram yang sukses.
Jika ini diberlakukan pada kendaraan bermotor maka tidak akan ada lagi masalah subsidi. Menurut Kardaya, Pertamina bisa menjalankan ini dimulai dari kota kota besar. Pertamina pasok gas dan minta subsidi ke pemerintah. “Agar Pertamina tak rugi,” kata dia.
Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai seharusnya subsidi BBM dicabut. “Duitnya dipakai buat bangun infrastruktur gas dan subsidi pada gas,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini. Jika harga gas lebih lebih menguntungkan pelaku industri energi, akan makin banyak yang terjun di industri gas.
Menurut Harun, harga BBG sudah ditentukan sebesar Rp 3.100 per liter secara premium seharusnya tak perlu dibatasi. “Harusnya dilepas sesuai mekanisme pasar,” ujarnya.
Selain itu, Harun menyoal suplai gas yang kurang. Dari tiga juta kaki kubik per hari kapasitas terminal gas di Muara Karang, Jakarta hanya mendapat suplai setengahnya. Terkait hal ini Kardaya menilai, sebenarnya suplai gas di Kalimantan banyak tapi pemerintah tak bisa mengakses karena masalah infrastruktur.
NUR ROCHMI