TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali mengatakan geli melihat proses tarik ulur perombakan kabinet dalam pemerintahan SBY. “Ini seperti sinetron politik dan belum pernah saya lihat di negara manapun,” tutur Effendi, Jumat, 14 Oktober 2011.
Dalam dua hari ini, Presiden SBY memanggil calon wakil menteri ke kediamannya di Puri Cikeas, Bogor. Setelah bertemu dengan presiden, setiap calon yang datang tampil di depan wartawan yang disiarkan langsung ke seluruh Indonesia. "Aneh dan unik," kata Effendi.
Menurut Effendi, tarik ulur reshuffle kabinet antara presiden dan partai koalisi akan semakin menggerus sistem pemerintahan Indonesia yang diatas kertas menganut sistem presidensial. “Ini semakin menggerus sistem presidensial kita,” tegas pakar komunikasi politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Presiden SBY dinilai terlalu memberikan ruang lebih bagi partai dalam tawar-menawar komposisi kabinet. "Ini menimbulkan kesan Presiden membiarkan dirinya tersandera," katanya.
Effendi menduga SBY tidak percaya diri meski jadi pemenang 60 persen suara Pemilu. “Jangan-jangan SBY nggak yakin menang 60 persen,” katanya.
SBY dianggap terlalu memberikan peluang yang lebih bagi parpol dalam merombak kabinet. “Kesannya nanti kalau ada kesalahan, tidak disalahkan sendiri, bisa nyalahin orang lain,” tambahnya.
Dia juga berharap Presiden menjelaskan secara spesifik beban kerja di kementerian tertentu yang menuntut diangkatnya wakil menteri. Dasar hukum pengangkatan wakil menteri ini merujuk ketentuan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
“Penjelasan dari Presiden masih terlalu global. Beban kerja apa yang memerlukan penanganan khusus itu,” ucapnya.
ISHOMUDDIN