TEMPO Interaktif, Jakarta - Tujuan hari ini adalah The Marquis of Pombal Square, bundaran dengan patung perungu Marquis of Pombal yang ditemani harimau. Dia adalah Perdana Menteri pertama pada 1750-1777. Dia pula lah yang menjadi “arsitek” pembangunan kembali Lisabon yang hancur lebur karena gempa.
Lisabon pernah dihantam tsunami dan gempa 9 skala Richter pada 1755. Lindu yang berpusat di Laut Atlantik itu diikuti kebakaran hebat. Ketiga bencana itu meluluhlantahkan kota dengan korban meninggal hingga 100 ribu orang. Orang pun masih menyebutkan sebagai gempa yang paling destruktif dalam sejarah.
Namun, bila kini kita singgah ke ibu kota negara paling barat di Eropa ini, kota ini masih dipenuhi dengan berbagai bangunan tua. Meski hasil restorasi, bangunan-bangunan dengan arsitektur abad ke-14 pun mudah ditemui.
Marquis of Pombal yang membuat Lisabon tak kehilangan bangunan bersejarahnya. Walhasil, saya pun beruntung pagi itu bisa melahap habis pemandangan artistik tersebut. Marquis of Pombal pula yang menunjukkan kaki saya harus melangkah, yakni Jalan Liberdade.
Dari peta, saya tahu akan menemukan sungai, kastil di atas bukit dan bangunan terindah di ujung perjalanan. Kaki saya pun melangkah lebar. Deretan pohon rimbun menyambut saya.
Selain mobil yang berseliweran, kelompok imigran menjadi pemandangan yang saya lihat di ujung jalan. Kebanyakan mereka yang berkulit hitam yang mencoba mengadu nasib di kota ini. Tapi kemudian kelompok itu tak lagi terlihat ketika saya semakin jauh melangkah di Jalan Liberdade.
Lagi-lagi bangunan di sana sangat memukau. Satu per satu gerai kecil hingga besar tampil dengan model tahun abad 18. Selain mencermati kedai kopi kecil di taman, mata saya benar-benar tak bisa lepas dari bangunan ke bangunan.
Di ujung jalan memang lebih banyak gedung yang melambangkan arsitektur bangsa Portugis pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Salah satu yang akhirnya paling menarik saya adalah stasiun kereta api. Itulah Stasiun Rossio.
Di sisi kiri stasiun kereta api tua itu, saya menemukan bangunan lawas lain-- National Theatre D Maria. Inilah gedung pertunjukan yang aslinya dibangun pada 1450, meski selamat dari guncangan lindu pada 1755, namun hancur oleh amukan api pada 1836. Kemudian dibangun kembali pada abad ke-18 dengan gaya Neoklasik oleh seorang arsitek Italia.
Di hadapan dua bangunan itu dibuat sebuah taman Rossio Square. Dari titik inilah saya bisa memutarkan badan dengan pemandangan sekeliling puluhan bangunan tua yang terawat dan berfungsi, mulai sebagai toko suvenir, hotel, kantor, hingga stasiun. Memandang ke atas, saya menemukan kastil Saint George nun jauh di sana. Istana yang dibuat abad ke-6. Dari obyek wisata ini, kita bisa melihat kota Lisabon selayang pandang.
Karena tidak melihat detail kastil dari jauh, saya segera melaju ke Jalan Augusta–area pertokoan nan ramai. Inilah yang disebut Baixa Pombalina. Surga bagi penggemar belanja dan pencinta makanan. Saya pun mencium bau sedap kue khas Lisabon, yang di Jakarta saya temukan di sebuah pusat perbelanjaan besar. Di Jakarta diberi label Lisboa, di sini dikenal sebagai pasties de nata alias cream custard tarts. Di salah kafe, saya terperangah dengan satu rak kue penuh dengan kue yang pertama kali dibuat sebelum abad ke-18 ini.
Kue renyah berwarna kecokelatan dan kuning itu per buah dijual sekitar Rp 12 ribu. Selain pasteis de nata, ada pula queijinhos d’ovo, tarte de amêndoa, fatias, douradas. Silakan pilih. Inilah area yang banyak dipilih untuk menikmati sore sambil menyeruput kopi dan mengunyah aneka kue. Di pinggir jalan ada penjaja lukisan dengan obyek berbagai obyek wisata di Lisabon dan sekitarnya. Ada juga yang berjualan pernak pernik seperti gelang, scarf.
Soal bangunan, yang perlu dicatat dari toko-toko di area belanja yang didirikan setelah gempa abad ke-17 ini adalah kontruksinya yang tahan gempa. Hingga menjadi salah satu contoh kontruksi tahan gempa yang pertama. Rupanya tak ingin derita terulang lagi, ketika pembangunan kembali, para arsitek negeri ini pun melakukan uji coba untuk membuat bangunan yang tahan guncangan hebat.
Saya tidak berlama-lama di area tersebut, karena di ujung telah terlihat gerbang indah. Kaki pun bergegas, setelah bersua dengan trem khas Lisabon kuning- putih, saya pun terpesona oleh deretan gedung yang zaman dulu digunakan sebagai pusat perniagaan. Commercial Square atau orang setempat menyebutnya Praca de Commercio. Berada di bibir sungai Tagus di tengah lapangan ada patung King Jose I di atas kuda nan gagah. Di sini kaki saya enggan untuk beranjak. Terlalu indah untuk ditinggalkan.
l RITA