TEMPO Interaktif, Jayapura - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua mengatakan pelaksanaan kongres Rakyat Papua III di Jayapura 16-19 Oktober 2011 lalu mendapat izin dan restu dari Pemerintah Indonesia. Jika tidak ada restu dari pemerintah, tidak mungkin kongres yang berbau makar digelar.
“Itu kan sudah ada komunikasi intensif dan koordinasi terus-menerus dengan pemerintah. Memang benar polisi tidak mengeluarkan izin pelaksanaan, tapi bukan berarti itu disebut melanggar aturan,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib, Senin 7 November 2011.
Matius mengatakan bila sudah ada sinyal dari pemerintah kongres legal, sebagai aparat negara polisi seharusnya tidak boleh menentang. Apalagi saat pelaksanaan polisi dan tentara ikut menjaga ketertiban kongres.
“Tugas polisi ya menjaga situasi tetap kondusif, tapi saya kira koordinasi terus-menerus dengan pemerintah memberi pemahaman bahwa kongres itu bukan illegal, apalagi sudah dipublikasikan secara luas,” ujarnya.
Jika polisi menganggap kongres itu illegal, seharusnya dari hari pertama dibubarkan. Bukan menunggu hingga hari ketiga baru kemudian "menyerang" membabi buta.
Baca Juga:
Polisi seharusnya mengikuti prosedur serta tidak mengeluarkan tembakan bila keadaan tidak berbahaya. “Ini kan aman-aman saja, waktu kongres tersebut ditutup, warga ada salam-salaman dan menari-nari, tidak ada yang yang bikin kacau, tiba-tiba polisi masuk ke arena kongres dan memukul secara brutal, puluhan dihajar, dan tiga orang tewas,” tutur dia.
Dia menduga ada upaya sengaja menangkap tokoh Papua. “Ada kemungkinan begitu. Kongres yang sejak awal bisa saja dibubarkan damai, malah menunggu sampai ada aksi peserta, yaitu deklarasi, ini bisa saja sudah direncanakan. Tapi ini memang sulit dibuktikan,” ujarnya.
Kongres Papua sebelumnya mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai keynote speaker, tapi batal. Rencana akan dibuka oleh Dirjen Otonomi Daerah juga gagal.
Tokoh Papua yang hadir saat itu di antaranya pimpinan forum kerja LSM Papua, Septer Manufandu, tokoh gereja Dr. Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman, dan Pdt. Yemima Krey. Salah satu agenda dibahas yakni soal kesejahteraan rakyat Papua termasuk sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Kongres ini dibuka oleh Fokorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, yang belakangan didapuk menjadi Presiden Negara Federasi Papua Barat. “Dalam pemahaman orang Papua, kongres itu sah. Bagi polisi dan pemerintah mungkin tidak, tapi yang penting di sini adalah bagaimana polisi mengoreksi kembali soal penggunaan senjata api, apakah bisa diletuskan pada keadaan aman atau tidak,” katanya.
JERRY OMONA