TEMPO Interaktif, Riyadh - Majelis Ulama di Arab Saudi menyatakan larangan mengemudi bagi wanita di Negeri Petro Dolar sudah benar. Alasannya, jika kebijakan itu dicabut Negeri Arab terancam kehilangan gadis perawan dalam tempo 10 tahun mendatang.
"Bahkan jika kebijakan dilonggarkan sekalipun, warga Arab Saudi bisa dekat pornografi," kata Kamal Subhi, mantan Profesor King Fahd University, dalam Daily Mail, 1 Desember 2011. Yang lebih mengkhawatirkan, kata Kamal, pria dan wanita Arab Saudi akan lebih banyak menjalin hubungan sejenis, yaitu menjadi gay atau lesbian.
Kamal tidak asal bicara. Kekhawatiran itu didasarkan atas penelitian cendekiawan muslim di Al-Ifta Al A'ala, sebuah Majelis Ulama tertinggi di Arab Saudi. Hasil penelitian tersebut telah disebar ke seluruh pelosok Arab.
Perempuan di Arab sampai kini masih dilarang mengemudikan kendaraan. Larangan tersebut menjadi isu sensitif. Bahkan 14 senator wanita Amerika Serikat (AS) pada medio 2011 pernah mendesak Raja Arab Saudi Abdullah untuk mencabut larangan mengemudi bagi perempuan di negara itu.
Para senator wanita AS ini menilai larangan itu sebagai sebuah pelanggaran HAM. Mereka juga menilai peraturan yang dikeluarkan Arab Saudi ini tidak sepadan dengan peran Negara Kaya Minyak itu yang baru saja terpilih dalam Dewan Perempuan PBB.
Kaum perempuan di Saudi pun mulai begerak. Mereka rajin berkampanye untuk mengemudi melalui gerakan bawah tanah Women2Drive. Tapi pada akhir September 2011, Pengadilan di Jeddah, Arab Saudi memvonis Shaima Jastaniyai, 45 tahun, dengan hukuman cambuk 10 kali. Ibu rumah tangga ini dinyatakan bersalah melanggar larangan mengemudi yang berlaku di Negeri Petro Dolar itu.
RUDY