TEMPO Interaktif, Jakarta - Ratusan kepala desa dari berbagai darah, seperti Lebak, Karang Anyar, Brebes, dan Mojokerto masih menduduki halaman depan pagar gedung MPR/DPR, Selasa 6 Desember 2011. Sejak Senin, 5 Desember 2011, mereka yang tergabung dalam Organisasi Masyarakat Desa se-Nusantara (Parade Nusantara) berunjuk rasa mendesak DPR meresmikan Rancangan Undang-Undang Pedesaan menjadi undang-undang.
Meski demo mereka hari ini tidak sampai menutup jalan seperti pada Senin kemarin, jumlah pengunjuk rasa tidak berkurang. "Semua menginap di sini. Kini sekitar 200 perwakilan sedang melakukan negosiasi dengan fraksi-fraksi di dalam gedung," kata Kepala Desa Nanggala, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Baca Juga:
Hingga pukul 14.00 WIB, lanjut dia, dari sembilan fraksi di Komisi II Bidang Aparatur Negara DPR sudah enam fraksi yang menyatakan setuju terhadap pengesahan RUU itu menjadi undang-undang. Sedangkan sisa fraksi lainnya masih dalam tahap negosiasi.
Dalam unjuk rasa itu Sumarno dan kepala desa lainnya mempunyai sejumlah tuntutan dengan pengesahan RUU tersebut. Di antaranya aturan bila masa jabatan kepala desa hanya dua kali masa pemilihan. Setelah dua kali menjabat, mereka tidak bisa lagi memimpin desa itu. Sistem periodik tersebut, menurut Sumarno, merugikan para kepala desa yang masih mempunyai banyak pendukung dari kalangan masyarakat.
"Seharusnya pakai sistem umur saja, seperti PNS pada umumnya. Jadi meski sudah dua kali menjabat, di pemilihan selanjutnya masyarakat masih memilih, ya tetap bisa menjabat," kata dia.
Bila menggunakan sistem periodik, yakni dua kali masa kepemimpinan, usai periode itu si kepala desa tidak lagi bisa menjabat. Itu artinya, kata dia, karier politik kepala desa habis.
Selain itu, para kepala desa meminta adanya dana atau subsidi dari daerah untuk calon kepala desa dalam masa pemilihan. Alasannya, selama ini calon kepala daerah dan presiden serta wakilnya mendapat subsidi dari negara atau anggaran daerah dalam proses pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. "Sedangkan pemilihan kepala desa harus pakai biaya sendiri. Itu yang tidak adil," ujarnya.
Sumarno juga mengeluhkan anggaran negara yang turun ke desa sebesar lima persen. Menurutnya, jumlah tersebut tidak adil karena masyarakat Indonesia paling banyak tinggal di daerah pedesaan. "Kami minta anggaran untuk desa minimal 10 persen dari negara. Agar warga desa bisa merasakan kesejahteraan," kata dia.
Bila tuntutan itu tidak dipenuhi DPR dengan penolakan RUU menjadi undang-undang, Sumarno dan kepala desa yang berada di gedung Dewan akan meminta kepala desa lainnya untuk datang ke Jakarta. "Mereka sudah bersedia datang dan menduduki gedung Dewan. Sebab tuntutan kami ini sudah sejak 2007, tapi sampai sekarang belum ada perkembangannya," kata dia.
CORNILA DESYANA