TEMPO.CO, Mataram - Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Barat (Walhi NTB) memastikan ada lima korban tewas akibat tindakan polisi yang menghalau warga Front Rakyat Anti Tambang (FRAT), Sabtu 24 Desember 2011. Dua orang sudah teridentifikasi, bernama Arif Rahman dan Saiful. Sedangkan tiga orang lainnya masih belum diidentifikasi.
Ketua Walhi NTB Ali Usman menjelaskan kepada Tempo, Ahad 25 Desember 2011 pagi, sepanjang malam timnya melakukan pendataan. "Kami menghimpun informasinya secara ketat,’’ kata Ali yang bertindak sebagai Humas Koalisi Rakyat NTB untuk Kasus 24122011 Bima Berdarah. Koalisi tersebut terdiri dari organisasi kemahasiswaan kepemudaan, LSM, dan lembaga bantuan hukum. Juga ada Partai Rakyat Demokratik.
Sedangkan juru bicara FRAT di Lambu Bima Delian Lubis memberikan data melalui pesan pendek (SMS): yang tewas masih dua orang, sembilan orang terluka dan menjalani perawatan di rumah sakit. Adapun warga Lambu yang ditahan polisi sebanyak 59 orang dan sembilan orang mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas.
Meski telah mengakibatkan korban jiwa meninggal dunia dan ditahan polisi, sikap FRAT tetap menuntut pencabutan izin penambangan PT Sumber Mineral Nusantara oleh Bupati Bima Ferry Zulkarnain. ‘’Kami berjuang sampai mati demi menolak penjajahan,’’ ujar Delian.
Anggota koalisi lainnya dari Serikat Tani Nasional NTB, menurut ketuanya Ahmad Rifai alias Pai, akan menggalang massa melakukan aksi, Senin 26 Desember 2011. "Kami mempersiapkan tindakan hukum dan politik,’’ ujarnya. Koalisi tersebut juga telah melakukan aksi bersama berupa renungan malam di perempatan Bank Indonesia di Jalan Langko Mataram. Menurutnya, sebenarnya Komnas HAM sudah menyurati Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi agar tidak terjadi tindakan represif. "Yang terjadi itu pemukulan sepihak,’’ katanya.
Tindakan warga Lambu memblokir Pelabuhan Penyeberangan Sape tersebut yang sudah berlangsung selama lima hari karena penambangan yang diizinkan pemerintah itu dinilai akan mengganggu lingkungan dan masyarakat di tiga kecamatan, yaitu Lambu, Langgudu, dan Sape.
Para aktivis mahasiswa Bima sudah mengeluarkan seruan untuk melakukan demonstrasi menuntut pencopotan Kepala Polisi Daerah NTB Arif Wachyunadi, Kepala Polres Kota Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul, dan Bupati Bima Ferry Zulkarnain yang juga Jene Teke (raja muda kesultanan Bima). Tuntutan mereka yang disebarkan oleh anggota DPRD NTB dari daerah pemilihan Bima-Dompu Mori Hanafi disebutkan sebagai perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat yang membunuh rakyat.
Mori Hanafi dari Partai Gerindra mengecam aksi dan tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan tersebut. Ia menyatakan sepakat upaya membuka blokir jalan dan sudah sepakat harus bubar. "Namun tindakan polisi yang tidak menggunakan standar operasional (SOP) sungguh disayangkan,’’ ujarnya kepada Tempo.
Penggunaan peluru tajam, kata Mori, itu bukti polisi tidak menggunakan SOP. Padahal semestinya polisi hanya menggunakan gas air mata atau peluru karet. Menurutnya, senjata tajam yang dibawa warga adalah golok yang bisa dihadapi dengan peluru karet yang hanya bisa mengakibatkan pingsan.
SUPRIYANTHO KHAFID