TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan bahwa polisi menggunakan peluru tajam, di samping peluru karet, untuk membubarkan blokade warga di pelabuhan penyeberangan feri Sape, Kecamatan Lambu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu lalu.
Tak hanya itu, "Anggota polisi menembak lurus ke kerumunan massa," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 26 Desember 2011.
Menurut Ifdal, informasi itu diperoleh Komnas HAM dari laporan masyarakat dan video rekaman. "Ini akan kami coba lihat di lapangan," katanya.
Bentrokan antara warga dan polisi pada Sabtu lalu menyebabkan tiga orang tewas bernama Arif Rahman, 19 tahun, Syaiful, 17 tahun, dan Arifuddin A. Rahman. Arif Rahman tertembak di lengan tembus ke ketiak dan Syaiful tertembak di dada tembus ke belakang. Adapun Arifuddin belum diketahui penyebabnya.
Nurcholis mengatakan Komisi Nasional juga mendapat laporan sebanyak 19 warga menderita luka-luka, sebagian di antaranya dalam kondisi kritis. "Ada juga dikabarkan yang hilang, namun masih perlu diklarifikasi di lapangan," kata dia.
Bentrokan antara warga dan polisi itu bermula ketika warga dari berbagai kelompok memblokir Pelabuhan Sape di Bima. Mereka memprotes Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang memberikan izin penambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara dengan terbitnya Surat Keputusan Nomor 188/45/357/004 Tahun 2010.
Polisi pun berusaha membubarkan paksa demonstrasi itu, namun warga menolaknya. Bentrokan akhirnya tidak terhindarkan.
Unjuk rasa itu sendiri berlangsung sejak lima hari sebelum peristiwa berdarah itu. Di samping meminta pencabutan izin tambang, warga juga meminta rekannya yang ditahan polisi agar dibebaskan.
Warga semakin marah setelah mendapat perlakuan represif dari petugas keamanan. Massa kemudian merusak kantor Polsek Lumbu serta membakar rumah dinas kapolsek, empat unit asrama polisi, dan gedung BTN. Mereka juga merusak kantor unit pelaksana teknis daerah kehutanan, kantor dinas pemuda dan olahraga, tiga bangunan BTN, gedung kantor urusan agama, dan 25 unit perumahan masyarakat.
Dalam bentrokan ini, Kepolisian Resor Bima menetapkan 47 orang tersangka.
Di samping pelanggaran prosedur, kata Ifdal, Komnas HAM menyimpulkan bahwa insiden Bima itu merupakan pelanggaran HAM. "Namun kami belum dapat menyimpulkan apakah masuk kategori pelanggaran HAM berat atau tidak." Indikasi adanya pelanggaran HAM itu karena ada warga yang meninggal, luka-luka, menjadi korban kekerasan petugas, dan intimidasi.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan polisi terpaksa melakukan pembubaran karena massa telah melanggar dan mengganggu tempat umum.
RUSMAN PARAQBUEQ | INDRA WIJAYA | RAJU FEBRIAN
Berita terkait:
Benarkah dalam Insiden Bima Polisi Melanggar Protap?
Polri Tantang Walhi Buktikan Korban Tewas di Bima
Djoko Suyanto: Blokade Massa Ganggu Warga Bima
Mahasiswa Desak Kapolda NTB dan Lampung Dicopot