TEMPO.CO, Bandung - Sunaryo HW, bekas anggota Dewan Kota Cirebon yang kini menjabat Wakil Wali Kota Cirebon, akhirnya divonis 1 tahun penjara dalam kasus korupsi dana APBD Kota Cirebon tahun 2004 senilai Rp 4,9 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jumat 6 Januari 2012.
Hukuman serupa untuk kasus yang sama dijatuhkan kepada Ketua DPRD Kota Cirebon 1999-2004, Suryana, meski terdakwa absen dalam sidang dengan alasan sakit.
Majelis hakim pimpinan Eka Saharta Winata menyatakan kedua terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi sesuai dengan dakwaan subsider jaksa penuntut yakni Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu jo 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Adapun dakwaan primer jaksa dinyatakan tak terbukti, sehingga keduanya dibebaskan dari ancaman pidana dakwaan primer Pasal 2 Undang-Undang Antikorupsi. Majelis Hakim beralasan, meski terbukti melawan hukum, kedua terdakwa tak terbukti memperkaya diri ataupun orang lain.
"Memutuskan menjatuhkan pidana kepada terdakwa I Suryana dan terdakwa II Sunaryo selama satu tahun penjara. Denda masing-masing Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan," demikian vonis Eka saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jumat.
Selain itu, majelis juga menghukum para terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara masing-masing sesuai dengan jumlah dana yang ditilap. Suryana divonis membayar Rp 312,7 juta dan Sunaryo sebesar Rp 180,3 juta.
"Jika dalam waktu satu bulan sejak diputuskan para terdakwa tak mampu membayar, harta bendanya akan disita dan bila masih tak mencukupi maka diganti penjara 1 tahun," ucap Eka.
Atas putusan majelis, penasihat hukum Sunaryo dan jaksa penuntut tak langsung menyatakan sikap apakah menerima atau banding. "Kami menyatakan pikir-pikir karena akan membahas dulu putusan ini bersama terdakwa," ujar Kuswara S. Taryono, penasihat hukum Sunaryo, menjawab Ketua Majelis Hakim Eka Saharta.
"Karena penasihat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir, kami pun pikir-pikir," ujar jaksa penuntut Rahman Firdaus.
Adapun penasihat hukum Suryana tak menyatakan pikir-pikir. Mereka pun belum menyatakan apakah akan menerima atau banding atas putusan hakim dalam sidang yang tak dihadiri kliennya ini. "Kami akan terlebih dahulu menyampaikan vonis hakim Majelis Hakim kepada terdakwa (Suryana)," ujar Herry, salah seorang penasihat hukum Suryana.
Menanggapi kembali jawaban para terdakwa yang belum menerima putusannya, Ketua Majelis Hakim Eka pun menyatakan bahwa, "Karena pihak terdakwa dan jaksa penuntut umum belum menerima, kami nyatakan belum berkekuatan hukum tetap."
Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan kedua terdakwa terbukti menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan cara menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara. Modusnya, para terdakwa secara bersama-sama telah mengakali aturan penganggaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana APBD tahun 2004 untuk menilap duit rakyat atas nama dana penunjang kegiatan dan penghasilan anggota Dewan.
Duit rakyat yang dibagi ke seluruh pimpinan dan anggota Dewan periode 1999-2004 itu ditilap seolah-olah merupakan hak anggota Dewan atas nama biaya reses, bantuan kesejahteraan, tunjangan purnabakti. Juga sebagai biaya bantuan hukum dan transportasi pengacara, biaya transportasi, biaya mobilitas fraksi, biaya sosialisasi dokumen penganggaran, dana taktis, biaya persiapan reses, dan lainnya.
Eka menyatakan para terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000. "Menggunakan dana anggaran tak sesuai dengan peruntukan dan tidak mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut dengan bukti penggunaan yang benar," katanya.
"Perbuatan para terdakwa merugikan keuangan negara Rp 4,9 miliar," ujar Eka.
ERICK P. HARDI