TEMPO.CO, Banyuwangi - Ratusan penambang batu belerang di kawah Gunung Ijen kehilangan mata pencaharian setelah seluruh aktivitas di sekitar puncak gunung ditutup pertengahan Desember 2011 lalu. "Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, apa saja yang bisa dikerjakan, ya terpaksa dikerjakan," kata Suyono, 43 tahun, salah seorang penambang belerang, Senin, 16 Januari 2012.
Menurut Suyono, para penambang harus bekerja serabutan. Suyono, misalnya, terkadang mencari rumput untuk pakan ternak sapi milik tetangganya. Di lain hari, dirinya menjadi buruh tani.
Dari pekerjaan mencari rumput, setiap hari, bapak enam anak itu mendapat upah Rp 15 ribu. Pendapatannya ini jauh lebih sedikit dari penghasilannya sebagai penambang belerang.
Lelaki itu menuturkan, sebagai penambang belerang, biasanya ia mendapat upah Rp 40 ribu sehari bila mampu membawa belerang seberat 75 kilogram. "Satu kilogram belerang dihargai Rp 600," ujarnya.
Beban hampir satu kuintal belerang itu dipikul Suyono dari dasar kawah Gunung Ijen hingga ke tempat penimbangan yang berjarak sekitar tiga kilometer. Setiap hari Suyono harus menapaki jalan berliku, mendaki gunung setinggi lebih dari dua ribu meter dari permukaan laut itu.
Selain sering mengalami sakit pinggang, warga Desa Tamansari, Kecamatan Licin, itu juga harus menghadapi ancaman gas belerang. "Napas sering sesak," keluhnya.
Meski beban pekerjaannya cukup berat, Suyono tidak pernah putus asa menjalaninya. Tidak ada pilihan pekerjaan lain yang membuatnya terpaksa menekuni pekerjaan itu. "Kalau ada pekerjaan lain dengan penghasilan yang sama, saya berhenti sebagai penambang," katanya.
Suwarso, 39 tahun, seorang penambang belerang lainnya, juga berkeluh kesah serupa. Pria yang telah 15 tahun menjadi penambang belerang itu mengatakan ekonominya terpuruk setelah sebulan Gunung Ijen tertutup bagi penambang. Pria beranak dua itu pun untuk sementara beralih menjadi pencari rumput. "Diupah Rp 15 ribu sehari," ucapnya.
Warga Desa Wonosuko, Kecamatan Kalipuro, itu tidak tahu kapan aktivitas Gunung Ijen kembali normal. Suwarso tidak pernah kapok menjadi penambang belerang. Dia sudah menyadari risiko dari pekerjaannya. "Kalau hari ini Ijen dibuka lagi, besok saya langsung menambang," tuturnya.
Suwarso kerap memikul 75 kilogram belerang dari kawah. Bahkan, dalam sehari, pekerjaan berat itu bisa dilakoninya hingga dua kali. Upah yang dibawa pulang Rp 80 ribu sehari. "Enaknya nambang, upahnya langsung didapat," katanya.
Di Gunung Ijen terdapat 403 penambang belerang. Mereka bekerja untuk PT Candi Ngrimbi, perusahaan yang mendapat kuasa eksploitasi penambangan belerang di Gunung Ijen.
Sejak 14 Desember 2011 lalu, aktivitas Gunung Ijen meningkat sehingga statusnya dinaikkan dari normal menjadi waspada. Empat hari kemudian ditingkatkan lagi menjadi siaga. Status siaga masih berlaku hingga hari ini. Radius 1,5 kilometer dari kawah harus disterilkan dari wisatawan dan penambang belerang.
Untuk membantu ekonomi penambang belerang, Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Banyuwangi hari ini memberikan bantuan sembako. Setiap penambang mendapatkan 2,5 kilogram beras dan lima bungkus mi instan. "Semoga status Gunung Ijen segera normal kembali," ucap Ketua PMI Banyuwangi yang juga Wakil Bupati Banyuwangi, Yusuf Widyatmoko, usai membagikan bantuan.
IKA NINGTYAS