TEMPO.CO, Jakarta - Opsi harga tengah diusulkan menjadi alternatif upaya meringankan konsumen bahan bakar minyak non subsidi. Usulan ini terkait dengan rencana kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Opsi itu, kata anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Satya W Yudha, salah satu cara agar kebijakan nantinya tidak memberatkan pengguna BBM nonsubsidi.
Untuk menempuh opsi ini, pemerintah menanggung pajak 20 persen dari harga ekonomis premium. Dengan demikian, konsumen nonsubsidi bisa membeli dengan harga Rp 6.400 per liter. "Masyarakat jadi tidak dibenturkan pada paksaan membeli Pertamax," katanya ketika dihubungi, Jumat (20/1).
Seluruh SPBU pun tidak perlu dimodifikasi, tinggal membedakan antara premium subsidi dan nonsubsidi. Menurut anggota fraksi Golkar ini, bisa juga diterapkan metode IT dan nonIT. "Metode IT bisa dengan smart card, sedangkan yang nonIT dengan pengawasan langsung di lapangan."
Adapun pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu, lebih setuju dengan kenaikan harga. "Sejak tahun lalu kami sudah mengusulkan kenaikan sebesar Rp 500, namun untuk angkutan umum dikenakan sistem cash back menggunakan cash card," katanya.
Anggito menambahkan, kenaikan ini sekaligus mendukung program konversi dari BBM ke bahan bakar gas. Dengan kenaikan BBM, BBG akan lebih murah daripada premium. "Pada dasarnya BBG itu lebih murah dan lebih aman,"ujarnya.
AYU PRIMA SANDI