TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Bank Indonesia, Diffi A. Johansyah, mengaku tak tahu persis apakah Bank Indonesia telah melakukan pemeriksaan perihal aliran dana suap cek pelawat dan keterlibatan Bank Artha Graha dalam kasus tersebut. "KPK pernah minta tolong BI, tapi saya tidak tahu persis isi suratnya dan tahun berapa," ujar Diffi saat dihubungi Tempo, Kamis, 26 Januari 2012.
Diffi menjelaskan, wewenang pemeriksaan sebenarnya ada di tangan penegak hukum. Apabila terkait perbankan, dalam hal ini Bank Artha Graha, kapasitas BI hanya memberikan izin. Kasus cek pelawat bermula dari terkuaknya pembagian 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 terkait dengan pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Bank Artha Graha diduga terlibat sebab cek pelawat tersebut dipesan oleh Artha Graha dari Bank Internasional Indonesia atas permintaan Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation and Industry, Budi Santoso.
Terkait dugaan adanya keistimewaan yang diterima Bank Artha Graha setelah kasus cek pelawat, Diffi mengaku tak tahu-menahu. Tapi, jika bentuk keistimewaan tersebut adalah pinjaman dengan bunga rendah, kata Diffi, seharusnya hal tersebut tidak mungkin.
"Setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak lagi memberikan kredit," ujarnya. Dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyaluran kredit dialihkan dari BI ke institusi milik negara, seperti bank badan usaha milik negara dan Permodalan Nasional Madani (PNM).
Hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Miranda sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Sebelumnya, KPK telah menahan Nunun Nurbaetie yang disebut sebagai makelar suap tersebut. Nunun ditangkap setelah 30 anggota DPR periode 2004 divonis bersalah dan dipenjara.
MARTHA THERTINA