TEMPO.CO, Cianjur - Suasana bening dengan rinai gerimis pagi itu sontak pecah oleh riuh tawa remaja berpakaian hitam-hitam plus ikat kepala batik. Mereka menenteng alat musik tradisional seperti kendang, angklung, calung, dan lain-lain. Kaki-kaki bocah belasan tahun itu dengan lincah meniti ribuan anak tangga menuju serakan batu-batu berbentuk punden berundak. Dan tiba-tiba keceriaan mereka lebur pada cerita yang tertapak pada ribuan batu purbakala di situs megalitikum Gunung Padang.
Situs yang pernah disebut-sebut sebagai punden berundak terbesar se-Asia Tenggara tersebut terletak di sebuah gunung di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat. Pernah disebut terbesar se-Asia Tenggara jika merujuk pada luas bangunan purbakala sekitar 900 meter persegi dengan luas areal situs kurang lebih sekitar 3 hektare itu.
Baca Juga:
"Hari ini ada sebuah ritual kebudayaan di sini. Selain memelihara keutuhan batu-batu bersejarah dari tangan-tangan jail dan tak bertanggung jawab, kami juga menanam 1.000 pohon enau, rasamala, huru, saninten, dan angsana," ujar Eko Wiwid, Direktur Lokatmala Institute Cianjur, organisasi yang berkecimpung dalam perlindungan lingkungan hidup, Minggu, 29 Januari 2012.
Pada hari itu, ratusan warga sekitar serta wisatawan dari berbagai daerah tumplek di obyek wisata andalan Kabupaten Cianjur tersebut. Mereka menyeimbangkan antara rasa penasaran dan stamina yang cukup terkuras. Sebab, untuk mencapai puncak gunung tempat situs tersebut, perlu menaiki ribuan anak tangga dengan dua pilihan jalur.
Jalur pertama yang konvensional hanya berjarak puluhan meter dengan sudut ketinggian tangga hampir 60-70 derajat. Sedangkan jalur kedua yang belum lama dibangun agak lebih jauh, tapi sedikit ramah karena hanya 30-45 derajat.
Balok-balok batu yang jumlahnya sangat banyak itu tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.
Selanjutnya...