TEMPO.CO, Jakarta - Meredanya kekhawatiran terhadap masalah Yunani di tengah belum adanya sentimen positif yang kuat di pasar finansial global membuat rupiah bergerak stabil sepanjang pekan ini. Sempat melemah hingga di atas level 9.018, namun rupiah akhirnya berhasil menguat kembali di bawah level 9.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Dalam perdagangan hari ini, Jumat, 3 Februari 2012, nilai tukar rupiah ditutup melemah 13 poin (0,15 persen) ke level 8.968 per dolar AS dari posisi sebelumnya di 8.955 per dolar AS. Tertahannya kenaikan indeks saham di bursa domestik membuat pergerakan rupiah agak tertahan.
Kepala Riset Treasury dari Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti menjelaskan, membaiknya data–data ekonomi AS dan euro yang masih stabil di level US$ 1,31 membuat tekanan terhadap rupiah juga melemah. “Sikap hati–hati pelaku pasar dan antisipasi terhadap data tenaga kerja AS yang akan dirilis nanti malam membuat rupiah belum mampu menguat lebih jauh,” tuturnya.
Menjelang keluarnya data tenaga kerja AS, euro sore ini menguat 0,0034 poin (0,26 persen) ke level US$ 1,3178, poundsterling terapresiasi 0,0039 poin (0,25 persen) menjadi US$ 1,5845. Sedangkan yen Jepang justru melemah 0,02 poin (0,03 persen) menjadi 76,24 per dolar AS. Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya turun 0,158 poin (0,2 persen) menjadi 78,833.
Data tenaga kerja AS di luar sektor pertanian yang diprediksikan bertambah 150 ribu, sedangkan angka pengangguran akan tetap di level 8,5 persen. Bila data ekonomi AS kembali membaik dan berhasil melebihi perkiraan analis, maka animo investor terhadap aset dalam mata uang yang dianggap berisiko akan kembali meningkat sehingga menguntungkan rupiah.
Potensi penguatan rupiah masih sangat besar karena minat investor asing berinvestasi dalam mata uang rupiah juga cukup tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan terhadap obligasi pemerintah yang di lelang bulan lalu. Dari target indikatif Rp 7 triliun, penawaran yang masuk lebih dari Rp 50 triliun. Walaupun akhirnya yang dimenangkan hanya Rp 10,5 triliun.
VIVA B. KUSNANDAR