TEMPO.CO, Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi mengritisi sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Beberapa hal yang menjadi catatan KPK dalam undang-undang ini antara lain terkait panitia penyelenggara ibadah haji, biaya penyelenggaraan ibadah haji, Komisi Pengawas Haji Indonesia, dana abadi umat, pengadaan ibadah haji dan kewajiban pemerintah dan jamaah.
"Undang-undang ini belum memiliki peraturan pelaksana," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas saat rapat dengan Komisi VIII di gedung DPR, Selasa, 21 Februari 2012.
Busyro menyatakan, untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan ibadah haji, dana ibadah haji dan dana abadi umat harus diaudit oleh akuntan publik independen. Lalu hasilnya diumumkan ke publik. Selama ini, laporan keuangan penyelenggaraan ibadah haji hanya dilaporkan ke Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terkait dengan pengelolaan Dana Abadi Umat, Busyro menilai ini seharusnya dilakukan oleh badan independen. Dalam Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, badan ini masih berada dibawah Kementerian Agama. Busyro menyatakan, pembentukan Badan Pengelola ini seharusnya melalui mekanisme seleksi independen.
Dia menegaskan, jika Dana Abadi Umat dikelola oleh Kementerian Agama, ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini disebabkan karena pelaksana dan pembuat regulasi dilakukan oleh lembaga yang sama. Sistem ini berpotensi menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Busyro juga mengkritik mengenai tak adanya lelang umum dalam pengadaan pesawat haji. Hal ini menyebabkan tidak adanya perkiraan harga pesawat haji yang seharusnya dibuat oleh panitia. Padahal, kata Busyro, proses ini seharusnya mengacu pada Peraturan Presiden Nomo 54 Tahun 2010 yakni mekanisme pelelangan umum. "Harus dilakukan mekanisme penghitungan ulang," kata dia.
I WAYAN AGUS PURNOMO